Membuat Ranking Anak

Musim Ujian telah selesai, berganti musim Terima Raport dan kemudian berlanjut menjadiMusim Liburan. Nah biasanya hal yang paling menyibukkan bagi anda yang berprofesi sebagai seorang guru dan wali kelas yaitu harus memberikan Nilai, kemudian menghitung rata-rata Nilaidan Selanjutnya menentukan Rangking / Peringkat Kelas. Dengan Microsoft Excel anda akan dibuat mudah dengan perhitungan cepat dengan Rumus yang memang menjadi salah satu keunggulan Microsoft Excel. Pada postingan ini saya akan memberikan tips bagaimanaMenghitung Rata-rata dan Menentukan Rangking atau Peringkat kepada anak didik anda. Langsung aja ikuti Tips berikut ini:

1. Bukalah Microsoft Excel anda, kemudian buatlah tabel dan isilah seperti pada gambar berikut:



2. Untuk mengisikan Rata - Rata gunakan Fungsi Average, bisa dituliskan seperti berikut:

=AVERAGE(C7:E7)

Average adalah fungsi yang digunakan untuk menghitung rata - rata, karena pada contoh kasus ini yang ingin diperoleh Nilai Rata-ratanya adalah Nilai MatematikaNilai Bahasa Inggris danNilai Bahasa Indonesia, maka di Dalam Kurung adalah (C7:E7) artinya menghitung rata-rata dariSEL C7 (Nilai Matematika) sampai dengan E7 (Nilai Bahasa Indonesia). Gunakan Copy rumus untuk mengisikan Sel dibawahnya. Jika Nilai dibelakang koma itu terlihat Lebih dari Dua, misalkan : 83,3333 Nah untuk membuat nilai dibelakang koma cuma 2 digit/karakter maka Block data yang akan edit, kemudian Klik Format - Cell - Number - Number, pada Decimal Placesmasukkan angka 2, kemudian klik OK. Seperti terlihat pada gambar dibawah:



Hasilnya bisa anda lihat pada gambar berikut:



3. Untuk mengetahui Siapa yang mempunyai Nilai tertinggi dan kemudian untuk menentukan Rangkingnya maka bisa menggunakan Fungsi RankFungsi Rank digunakan untuk menentukanRangking / Peringkat dalam suatu data tertentu. Misalkan pada data diatas untuk menentukan Rangking dengan melihat Rata-rata. Yang Nilai Rata-ratanya tertinggi maka dia akan mendapatkan Rangking Pertama. Ketik Rumus berikut pada Sel G7 :

=RANK(F7;$F$7:$F$16;0)

Deskripsi Rumus :
Rumus Pasti diawali dengan tanda "Sama Dengan"
RANK adalah fungsi yang digunakan untuk menentukan rangking / peringkat
( dalam rumus setelah penggunaan fungsi pasti diikuti dengan tanda "Kurung Buka" kemudian di setelah selesai menuliskan rumus ditutup dengan Kurung Tutup atau )
F7 adalah Sel Kunci untuk menentukan rangking atau peringkat, pada contoh kasus ini adalah Sel pertama di Tabel Nilai Rata-rata
$F$7:$F$16 adalah data dari Nilai Rata-rata yang telah diabsolutkan (nilainya tetap), Untuk meng-absolutkan data, bisa dengan cara : Block data yang akan diabsolukan misalkan Block data pada Rata - Rata akan menjadi F7:F16 kemudian tekan F4 di keyboard supaya data tersebut menjadi $F$7:$F$16



Selamat Mencoba, semoga bermanfaat.....

Related Posts:

PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN


A.  Pendahuluan
Pendidikan, baik formal maupun nonformal, adalah sarana untuk pewarisan kebudayaan. Setiap masyarakat mewariskan kebudayaannya kepada generasi yang lebih kemudian agar tradisi kebudayaannya tetap hidup dan berkembang, melalui pendidikan.  Secara alamiah kodrati manusia tidak dapat hidup tanpa proses pembelajaran dan pendidikan, karena untuk menjadi dirinya yang mandiri diperlukan suatu proses yang panjang. …Peranan proses pembelajaran dan pendidikan menjadi amat penting bagi kehidupan manusia, agar ia dapat hidup dan berkembang secara layak.  Artinya, pendidikan merupakan sistem dan cara untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan manusia.  Katakan saja, dalam sejarah kehidupan umat manusia, hampir tidak ada kelompok manusia-pun yang tidak menggunakan pendidikan dalam berbagai bentuk dan jenis sebagai alat “pembudayaan” dan peningkatan kualitasnya, sekalipun dalam masyarakat yang masih terbelakang [primitif]. 
Pendidikan sesungguhnya produk dari kebudayaan manusia sendiri, ia menjadi bagian dari kebudayaan. Rancangan suatu pendidikan dalam kehidupan masyarakat sepenuhnya ditentukan oleh tingkat perkembangan dan kemajuan dari kebudayaan masyarakat itu sendiri.  Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang  untuk mendukung perkembangan dan kemajuan dari kebudayaan suatu masyarakat.  Dengan demikian, proses pendidikan memiliki hubungan “signifikan” dengan rekayasa bangsa di masa mendatang yang ditentukan oleh tingkat perkembangan dan kemajuan kebudayaan suatu bangsa.
Apabila demikian, maka “pendidikan dilihat sebagai suatu proses yang inheren dalam konsep manusia. Artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan. “Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia, bahkan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan maju mundurnya kehidupan” dan kebudayaan suatu masyarakat. Tentu hal ini merupakan indikasi tentang urgensi pendidikan bagi kehidupan dan kebudayaan manusia, karena pendidikan mempunyai peranan senteral dalam mendorong individu dan masyarakat untuk meningkatkan kualitasnya dalam segala aspek kehidupan demi mencapai kemajuan dan untuk menunjang perannya di masa datang.
Realitasnya, sudah lama banyak orang mempertanyakan konsep pendidikan di Indonesia, mengapa proses pendidikan kita hasilnya tidak memperkuat dan mengembangkan budaya sendiri? Mengapa bangsa kita mudah larut dalam pengaruh dan menirukan budaya yang datang dari luar? Mengapa budaya asli kita tidak mampu menahan arus globalisasi yang datang? Apakah pendidikan kita selama ini menjadi sarana pewarisan budaya atau tidak?

B. Pendidikan sebagai Basis Kebudayaan
Konsep dari ”founding fathers”  kita yang mengatakan bahwa kebudayaan nasional sebagai puncak-puncak kebudayaan suku-suku yang ada di Nusantara ini dapat dikaji secara terus-menerus dalam rangka membina apa yang disebut kebudayaan Indonesia yang akan merupakan landasan yang kuat bagi Sistem Pendidikan Nasional.  Tetapi hal mendasar yang perlu dicermati adalah “sistem pendidikan kita bukan merupakan tempat di mana kebudayaan dapat berkembang dan di mana pendidikan tersebut merupakan bagian dari kebudayaan secara menyeluruh”. Kenapa demikian, karena “pendidikan kita dewasa ini telah tercabik dari keberadaannya sebagai bagian yang terintegrasi dengan kebudayaannya. Gejala pemisahan pendidikan dari kebudayaan dapat dilihat dari gejala-gejala sebagai berikut, yaitu : [1] kebudayaan telah dibatasi pada hal-hal yang berkenaan dengan kesenian, tarian tradisional, kepurbakalaan termasuk urusan candi-candi dan bangunan-bangunan kuno, makam-makam dan sastra tradisional, [2] nilai-nilai kebudayaan dalam pendidikan telah dibatasi pada nilai-nilai intelektual belaka, [3] hal lain, nilai-nilai agama bukanlah urusan pendidikan tetapi lebih merupakan urusan lembaga-lembaga agama”.
Untuk menjawab gejala pemisahan pendidikan dari kebudayaan di atas, perlu mencermati tujuh unsur universal dari kebudayaan yang dirumuskan  Koentjaraningrat, sebagai berikut : sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, keseniaan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan.  Oleh sebab itu, memisahkan pendidikan dari kebudayaan merupakan suatu kebijakan mengeliminasi perkembangan kebudayaan dan mengaburkan substansi proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. 
Ki Hajar Dewantoro, mengatakan bahwa “kebudayaan tidak dapat dipisahkan, bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar pendidikan. Rumusan ini menjangkau jauh ke depan, sebab dikatakan bukan hanya pendidikan itu dialaskan kepada suatu aspek kebudayaan yaitu aspek intelektual, tetapi kebudayaan sebagai keseluruhan. Kebudyaan yang menjadi alas pendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan. Dengan demikian kebudayaan yang dimaksud adalah kebudyaan yang riil yaitu budaya yang hidup di dalam masyarakat kebangsaan Indonesia. Sedangkan pendidikan mempunyai arah  untuk mewujudkan keperluan perikehidupan dari seluruh aspek kehidupan manusia dan arah tujuan pendidikan  untuk mengangkat derajat dan harkat manusia”.
Pendidikan suatu upaya untuk melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan yang dipengaruhi oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis, kepercayaan, pengetahuan, seni, akhlak dan moral, hukum dan adat istiadat. Pendidikan  merupakan suatu sistem untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan dan sekaligus sebagai upaya pewarisan nilai-nilai budaya bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, pendidikan merupakan produk budaya dan sebaliknya budaya merupakan produk pendidikan. Brameld, menegaskan bahwa "proses kunci memperoleh kebudayaan adalah belajar dan kemudian meneruskan serta mengubah apa yang dipelajari itu".
Dalam proses pembelajaran dan pendidikan, apabila kebudayaan difahami sebagai sesuatu yang diwariskan atau dipelajari, kemudian meneruskan apa yang dipelajari serta mengubahnya menjadi sesuatu yang baru, dengan sendirinya upaya tersebut mengandung makna pendidikan dan pendidikan sendiri lazim diartikan sebagai seperangkat proses. Apabila demikian, maka tugas pendidikan di masyarakat mencakup empat hal, yaitu : [1] meneruskan kebudayaan, [2] membantu individu memilih peranan sosial dan mengajari untuk melakukan peran itu, [3] mengintegrasi aneka ragam identitas individu dan subkultural ke dalam lingkup kebudayaan yang lebih umum, [4] menjadi sumber inovasi sosial dan kebudayaan.
Empat tugas pendidikan di atas, mencerminkan kaitan serta jalinan hubungan fungsional antara pendidikan dan kebudayaan yang mengandung dua arah pokok, yaitu : Pertama, arah yang bersifat reflektif, pendidikan menggambarkan corak dan arus kebudayaan yang sedang berlangsung. Kedua, arah yang bersifat progresif, pendidikan berusaha memperbaharui dan mengembangkan kebudayaan agar mencapai kamajuan. Kedua arah ini, sejalan dengan tugas dan fungsi pendidikan adalah meneruskan atau mentransmisikan kebudayaan serta mengubah dan mengembangkan kebudayaan  tersebut untuk mencapai kemajuan kehidupan manusia. 
Apabila mencermati hakikat kebudayaan dan pendidikan yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan  inti dari setiap kebudayaan adalah "manusia". Dengan kata lain kebudayaan adalah khas insani, manusia yang berbudaya dan membudaya. Demikian pula hakikat pendidikan, inti dari pendidikan adalah "manusia", yaitu manusia berpendidikan dan pendidikan untuk manusia. Usaha untuk mencari hakikat kebudayaan dan pendidikan juga tidak terlepas dari hekekat manusia itu sendiri. Barangkali di sinilah terletak afinitas antara pendidikan dan kebudayaan. Kedua-duanya merupakan khas insani, oleh sebab itu pendidikan dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu masa lain, sebagai titik total analisis mengenai kebudayaan yang dapat digunakan untuk mengerti hakikat pendidikan.  Dengan demikian, antara pendidikan  dan kebudayaan terdapat jalinan hubungan fungsional yang sangat kuat, karena pendidikan meneruskan kebudayaan, memperbaharui dan mengembangkan kebudayaan dan produk pendidikan itu sendiri menggambarkan arus perkembangan kebudayaan umat manusia.

C. Pendidikan dalam Kebudayaan 
Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. "Secara alamiah kodrati manusia tidak bisa hidup tanpa proses pembelajaran dan pendidikan serta menjadi amat penting bagi kehidupan manusia". Oleh karena itu, pendidikan merupakan produk kebudayaan manusia dan pendidikan menjadi bagian dari kebudayaan.
Pendidikan dalam berbagai bentuk dan jenis sebagai upaya pewarisan nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan bagi kehidupan manusia.  Maka, betapa besar peranan pendidikan dalam kebudayaan atau dengan kata lain pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dan kedua-duanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. "Afinitas pendidikan dan kebudayaan dapat dilihat dalam rumusan Ernest Cassirer mengenai manusia sebagai animal simbolikum, karena manusialah yang mengenal dan dan memanfaatkan simbol-simbol di dalam kelanjutan kehidupannya. Seorang antropolog Leslie White, menyatakan bahwa kebudayaan dilestarikan dan dikembangkan melalui simbol-simbol. Semua tingkah laku manusia terdiri dari dan tergantung pada simbol-simbol tersebut. Dengan demikian, tingkah laku manusia adalah tingkah laku yang mengandung simbolik, sebab simbol-simbol tersebut merupakan bentuk universal dari kemanusiaan. Dari kedua pandangan ini, dapat dikatakan bahwa kebudayaan dapat diturunkan kepada generasi penerus lewat proses belajar yaitu melalui proses melihat dan meniru tingkah laku orang lain. Namun perlu difahami bahwa kebudayaan itu sendiri bukanlah tingkah laku, tetapi tingkah laku yang dipelajari adalah cara-cara bertindak [the ways of behaving] manusia dalam "lingkungan kebudayaan" tertentu mengikuti pola-pola ideal atau pola-pola budaya. Ruth Benedict, menyatakan bahwa hal ini sebagai pola-pola kebudayaan [patterns of culture]. Cara-cara bertindak dan pola-pola kebudayaan tersebut diwariskan kepada individu dan masyarakat melalui proses belajar, kemudian diperbaharui dan dikembangkan untuk mencapai kemajuan hidup manusia yang lebih layak.
Nilai-nilai budaya yang diwariskan merupakan unsur luar yang masuk ke dalam diri manusia, sementara dalam diri manusia ada unsur yang menonjol keluar seperti perkembangan potensi yang dimiliki manusia. Tugas utama pendidikan adalah berusaha mewariskan nilai-nilai budaya tersebut, sesuai dengan potensi dan "lingkungan" pada individu dan masyarakat. Hasan Langgulung, menyatakan sulit dibayangkan bahwa seseorang tanpa lingkungan yang memberi corak kepada watak dan kepribadian, sebab "lingkungan" inilah yang berusaha mewariskan nilai-nilai budaya yang dimilikinya dengan tujuan memelihara kepribadian dan identitas budaya tersebut sepanjang zaman. Sebab budaya dan peradaban bisa juga mati, apabila nilai-nilai,  norma-norma dan berbagai unsur lainnya yang dimiliki berhenti dan tidak berfungsi, artinya tidak atau belum sempat mewariskan nilai-nilai tersebut pada generasi penerus untuk diaplikasikan dalam kehidupan.
Apabila kita memperhatikan budaya dan peradaban Islam, terdapat "warisan Islam yang luar biasa daya dorongnya bagi peradaban ummat manusia yaitu al-Qur'an. Semangat memajukan peradaban digemakan oleh al-Qur'an, maka dapat dikatakan bahwa "visi kultural" menempati takaran yang besar. Apabila daya intelektual merupakan salah satu inti pencetus kebudayaan dan ilmu pengetahuan merupakan pusat kekuatan kebudayaan dari zaman ke zaman, maka keduanya menjadi muatan al-Qur'an yang amat berbobot.  Pandangan al-Qur’an tentang kebudayaan, yaitu kebudayaan sebagai proses adalah meletakan kebudayaan sebagai “eksistensi hidup manusia”, kebudayaan adalah suatu kegiatan total dari manusia, yang meliputi kegiatan akal yaitu “pemikiran” dan “zikir” serta kesatuan dalam perbuatan.
Dari pandangan di atas, dapat dikatakan bahwa "perdaban dan budaya Islam bermula dari turunnya wahyu yang kemudian disosialisasikan kepada individu dan masyarakat pengikutnya sehingga menjadi nilai-nilai dan norma-norma yang dianut dan diterapkan dalam tradisi kehidupan.  Dari tradisi inilah mulai terbentuknya suatu kelompok manusia yang disebut ummah Islam yang terikat dengan aqidah, syariat, dan akhlak Islam yang terkandung dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi sebagai prinsip pokok yang dianut dan senantiasa disosialisasikan serta dikembangkan dalam kehidupan umat manusia". Hal ini mencerminkan bahwa pendidikan berfungsi untuk mewariskan ajaran-ajaran Islam dengan berbagai nilai-nilai kebudayaan dan peradaban ke dalam kehidupan individu dan masyarakat, yang senantiasa tumbuh dan berkembang sebagai nilai-nilai dan simbol-simbol tingkah laku dan menjadi panutan dan sebagai pola-pola kebudayaan dalam kehidupan.
Pendidikan sesungguhnya merupakan produk dari kebudayaan manusia sendiri dan pendidikan menjadi bagian dari kebudayaan. Rancangan suatu pendidikan dalam kehidupan masyarakat sepenuhnya ditentukan oleh tingkat perkembangan dan kemajuan dari kebudayaan masyarakat itu sendiri. Lebih lanjut, Musa Asy’arie, mengatakan bahwa “pendidikan pada masyarakat yang tingkat kebudyaan masih dipengaruhi oleh pandangan mistis, tentu akan berbeda dengan pendidikan dalam masyarakat kebudayaan industrial dan tentu akan berbeda pula pendidikan di tingkat kebudayaan pasca industrial”. Oleh karena itu, pendidikan berusaha untuk mentransmisikan corak dan arus kebudayaan yang berlangsung, berusaha memperbaharui dan mengembangkannya untuk kemajuan manusia. Dalam perkembangan suatu masyarakat, pendidikan semula menjadi bagian dari kebudayaan, telah berfungsi menjadi suatu pusat dari pengembangan kebudayaan, dan melalui kualitas proses pendidikan, tingkat kebudayaan suatu masyarakat dapat ditentukan kualitasnya. Maka dalam strategi penerusan, pembaruan dan pengembangan kebudayaan Islam, pendidikan menjadi bagian fundamental, sehingga dalam merancang strategi kebudayaan Islam pada hakekatnya adalah merancang suatu pendidikan.  Dalam hubungan ini,  pendidikan Islam pada hakekatnya adalah pendidikan yang bercorak tauhid, baik dalam dataran kosmologis, epistemologis, metodologis maupun teologis.  [1] Kosmologis Pendidikan Islam yang berkembang selama ini, pada umumnya diruang-waktukan pada dikotomi dunia-akhirat. Ruang dunia dikategorikan dengan ruang pendidikan umum dan ruang akhirat diketegorikan ruang pendidikan agama. Ruang dunia adalah emperik dalam waktu kekinian, sedangkan ruang akhirat adalah ruang spritual yang ada di balik kehidupan dunia ini, dalam waktu besok yang sangat jauh yaitu kehidupan setelah kematianPendidikan Islam diidentikan dengan ruang akhirat yang berfokus pada pendidikan agama untuk membekali kehidupan akhirat, akibatnya dunia intelek Islam cenderung a histories, sarat muatan normative doktrinal dan penguasaannya mengandalkan kekuatan hafalan. [2] Epistemologis dalam Pendidikan Islam yaitu pendidikan sebagai pusat pengembangan kebudayaan merupakan pusat kajian dan pengembangan ilmu-ilmu dalam Islam. [3] Metodologis dalam Pendidikan Islam. Wahyu yang pertama kali diturunkan dan diterima Nabi Muhammad saw, sesungguhnya bermakna dan bermuatan pendidikan yaitu perintah untuk membaca [QS.96 : 1-5]. Membaca dalam kandungan ayat ini, bukanlah membaca seperti dalam tradisi keilmuan yang dikembangkan dalam institusi pendidikan, tetapi membaca yang dimaksud adalah bermakna sebagai sebuah metodologi yaitu  metode “membaca dengan nama Tuhan yang menciptakan, yang mengandung pengertian adanya penegasan atas posisi spritualnya dalam kegiatan membaca, sehingga dapat menangkap sisi gaib yang menjadi bagian fundamental dari realitas yang ada. [4]  Teologis dalam Pendidikan Islam yaitu tujuan pendidikan Islam mencetak lahirnya khalifah-khalifah Allah di muka bumi sebagai subjek-subejk kreatif dalam berbagai aspek dan lapangan kehidupan manusia meliputi bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, hokum dan agama.  Jadi khalifah di muka bumi ini, bertugas untuk memakmurkannya yaitu dengan menciptakan kesejahteraan, kedamaian dan keselamatan bersama melalui karya kreatif sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimilikinya dan menghindarkan diri dari perbuatan yang merusak kehidupan di muka bumi ini.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas pendidikan adalah: Pertama, mewariskan, meneruskan, menggambarkan corak dan arus kebudayaan yang sedang berkembang. Kedua, pendidikan berusaha untuk memperbarui, mengubah dan mengembangkan kebudayaan agar mencapai kemajuan baik individual maupun masyarakat. Kedudukan dan fungsi pendidikan adalah sebagai pusat pengembangan kebudayaan, pusat kajian, dan pengembangan ilmu-ilmu untuk mencapai kemajuan.  Maka dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, perlu dirumuskan kemudian adalah konsep ilmu-ilmu dalam Islam dan jika pendidikan Islam bercorak tauhid, maka konsep tauhid diimplementasikan dalam konsep ilmu-ilmu yang akan dikembangkan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.

D. Budaya Pendidikan 
Kebudayaan pendidikan merupakan gagasan, konsep, yang mendasari praksis pendidikan dan kebudayaan pendidikan merupakan aspek dari keseluruhan kebudayaan. Oleh sebab itu, kebudayaan pendidikan tidak terlepas dari keseluruhan elemen-elemen kebudayaan khususnya filsafat, ilmu pengetahuan, adat-istiadat, dan cara-cara hidup lainnya. Di dalam sejarah pendidikan Indonesia, dapat ditelusuri praktek pendidikan yang telah muncul pada zaman hindu Budha dengan sistem asrama, dan terus berkembang pada zaman masuknya agama Islam di Nusantara dengan pendidikan pesantren. Kemudian pada zaman kolonial praksis pendidikan juga tidak luput dari pengaruh-pengaruh pemikiran serta praktek pendidikan Barat yang dibawa oleh kolonialisme Spanyol, Portogis dan Belanda.  Demikian pula pada zaman masuknya Islam ke Indonesia, praksis pendidikan juga tidak luput dari pengaruh-pengaruh pemikiran serta praktek pendidikan Islam seperti pendidikan di rumah-rumah guru ngaji, di surau-surau, langgar, mesjid dalam sistem khalaqah yang berkembang menjadi pesantren dan madrasah seperti sekarang ini.
Hasil penelitian Lombard di dalam bukunya “Nusa Jawa, Silang Budaya”, menyatakan bahwa salah satu pengaruh yang sangat membekas di dalam praksis pendidikan di Indonesia adalah budaya pendidikan kolonial yang masih terus menerus mendominasi berbagai praktek pendidikan di Indonesia. Salah satu budaya yang menonjol adalah intelektualisme dan verbalisme. Menurutnya, bahwa praktek pendidikan tersebut di negeri bekas penjajah sendiri telah lama ditinggalkan, tetapi di Indonesia masih tetap dipertahankan dan berkembang subur. Implikasi dari budaya pendidikan tersebut meninggalkan bekas yang sangat dominan antara lain budaya pendidikan yang mendewakan ijazah formal" dan untuk bekerja sebagai pegawai negeri. Tanpaknya wabah penyakit ijazah formal dan harus bekerja disektor formal [pengawai negeri] menjadi penyakit yang mematikan pada pendidikan kita. "Budaya intelektualisme membawa pendidikan kepada apa yang disebut Paulo Freire sebagai pendidikan sistem bank di mana tugas pendidikan adalah menyodorkan fakta ke dalam diri subjek didik dengan khasanah hafalan.  Budaya pendidikan yang menekaknkan faktor intelektualisme menyebabkan metodologi pendidikan yang bersifat verbalisme, sehingga proses belajar-mengajar lebih bersifat monolog dan statis serta tidak ada ruang bagi pengembangan cara berpikir analisis dan kemampuan untuk mengeluarkan pendapat sendiri.
Budaya pendidikan yang dipaparkan di atas, juga melanda dunia pendidikan Islam yaitu  proses belajar-mengajar yang terjadi pada pendidikan Islam lebih menekankan intelektualisme, verbalisme dan mengandalkan kekuatan menghafal. Proses pendidikan Islam lebih ditekanpan pada pendidikan kognitif, bukan pada ortopraktis yaitu bagaimana mewujudkan nilai-nilai ajaran tersebut dalam tindakan nyata operasional. Pendidikan Islam lebih difokuskan untuk membekali kehidupan dunia akhirat, akhirnya pendidikan Islam cenderung sarat dengan muatan normatif doktrinal, yang penguasaannya lebih mengandalkan kekuatan hafalan.  Selain hal-hal tersebut, pendidikan Islam ditopang dengan paradigma dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama yang dikatakan merupakan warisan kolonial Belanda. Tanpaknya paradigma ini berpengaruh pada pendidikan Islam yang berkembang selama ini, pada umumnya bersifat dikotomi dunia dan akhirat atau pendidikan umum dan pendidikan agama. Pendidikan umum berorientasi pada ruang emperik dalam waktu kekinian, sedangkan pendidikan agama berorientasi pada ruang spritual yang ada di balik kehidupan dunia ini, dalam waktu besok yang sangat jauh yaitu kehidupan akhirat. Di dunia Islam pada umumnya pendidikan Islam diidentikkan dengan ruang akhirat yang fokusnya pada pendidikan agama untuk membekali kehidupan di akhirat, akibatnya dunia intelek Islam cenderung a historik, sarat dengan muatan normatif doktrinal, yang penguasaannya mengandalkan kekuatan menghafal.
Pendidikan Islam yang bercorak dikotomi, pada hakekatnya bertentangan dengan ajaran Islam yang fundamental visinya yaitu tauhid yang tidak mengenal adanya pemisahan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, karena keduanya merupakan satu kesatuan yaitu penguasaan ilmu dunia untuk kepentingan akhirat. Dalam Qur'an Allah berfirman: "Dan carilah apa yang dianugrahkan Allah kepada engkau akan negeri akhirat, dan janganlah engkau melupakan bagaimana duniamu", .... Oleh karena itu, "visi tauhid dalam pendidikan Islam perlu diaktualisasikan lebih konkret dalam keterlibatannya yang intensif dengan dinamika perubahan, karena pendidikan pada dasarnya merupakan bagian dari dinamika perubahan kehidupan masyarakat. Pendidikan Islam harus "menjadi bagian dari usaha untuk menjadikan dirinya sebagai rahmatan lil'alamin, yang membawa kesejahteraan hidup manusia dan semua yang ada di alam ini. Visi tauhid sesungguhnya tidak berlawanan dengan perubahan, karena tauhid merupakan pandangan teologis yang dapat diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia; sosial politik, ekonomi, budaya dan agama yang pada dasarnya selalu memunculkan perubahan".  Maka "dikotomi Pendidikan Islam sesugguhnya bertentangan secara fundamental dengan tauhid. Maka pendidikan Islam seharusnya melepaskan dari dikotomi dunia dan akhirat, ilmu agama dan non-agama, yang dapat mendangkalkan agama itu sendiri dan menjadi lahan subur bagi berseminya sekularisme dan materialisme dalam kehidupan agama, karena dikotomi itu sendiri adalah bagian dari sekularisme”.
Pendidikan Islam, masih menggunakan sistem pendidikan modern yang mengadopsi sistem pendidikan Barat dengan menambah beberapa mata pelajaran agama Islam dan sistem pendidikan yang berasal dari zaman klasik atau tradisonal yang tidak diperbarui secara mendasar, mempunyai arah yang berbeda dan justru bertolak belakang. Sistem pendidikan klasik merupakan pengaruh dari abad pertengahan, Fazlur Rahman, menyatakan bahwa dalam sistem pendidikan Islam, susunan ilmu-ilmu keagamaan dibuat sedemikian rupa hingga membuatnya tanpak mutlak; ilmu-ilmu tersebut tidak hanya mengisi tempat mereka sendiri saja, tetapi juga tempat semua bidang ilmu pengetahuan. Semua ilmu pengetahuan yang lain adalah tambahan-tambahan yang tak perlu, kalaulah tidak sama sekali dikutuk. Pernyataan dari ahli hukum al-Syathibi bahwa mencari ilmu apapun juga yang tidak langsung berhubungan dengan amal adalah terlarang, merupakan ciri khas pandangan ulama zaman pertengahan. Prinsip ini tidak hanya mengesampingkan filsafat, tetapi juga matematika, kecuali berhitung dasar. Sikap ini diambil untuk memberikan kedudukan yang mutlak kepada ilmu hukum - fiqh. Dengan secara organis menghubungkan semua bentuk ilmu pengetahuan dan menjadikan sebagai alat teologis-dogmatis, maka sumber-sumber intelektual menjadi kering dan pemikiran orisinal menjadi mati.
Budaya pendidikan dan pemikiran ulama pada zaman pertengahan masih berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan Islam sampai saat ini. Ahmad Syafii Maarif, menyatakan bahwa "pendidikan Islam yang berlangsung di negeri ini masih menganut sistem pendidikan warisan abad pertengahan bagian akhir. Ciri utama dari masa tersebut adalah adanya pemisahan secara jelas antara ilmu pengetahuan terklasifikasi, sehingga keberadaannya juga dibedakan dengan sekolah-sekolah umum". Sisten organisasi dan kurikulum madrasah diredusir secara sangat merugikan yang mengakibatkan timbulnya pandangan yang sempit dan menyebabkan pendidikan Islam menjadi lesu. Pendidikan Islam selalu menjadi ketinggalan dengan perkembangan kebudayaan, pembaruan pendidikan Islam selalu terlambat atau lebih sering "mengekor" pada lembaga-lembaga pendidikan umum yang mewarnasi keseluruhan sistem pendidikan, dan kadang-kadang apa yang ditiru telah ditinggalkan pendidikan umum.  Hal lain, yaitu dalam upaya pembaruan, "lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan lompatan-lompatan berarti bagi kemajuannya atau menurut istilah  M. Rusli Karim,  tidak mampu memenuhi logika persaingan".

E. Kebudayaan dan Problematika Pendidikan 
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang. Dengan demikian pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan zaman, maka mau tak mau pendidikan harus didisain  mengikuti irama perubahan tersebut, kalau tidak akan ketinggalan. Pendidikan senantiasa mengikuti perubahan, karena pendidikan pada dasarnya adalah bagian dari dinamika perubahan kehidupan masyarakat.  Perubahan pendidikan  selalu relevan dengan kebutuhan masyarakat baik pada konsep, materi atau kurikulum, proses, fungsi dan tujuan lembaga-lembaga pendidikan, mengikuti irama perubahan peradaban masyarakat, karena pendidikan dari masyarakat untuk masyarakat, dan siklusnya selalu demikian. Misalnya; pada masyarakat agraris pendidikan didisain agar relevan dengan kebutuhan dan mengikuti perkembangan masyarakat pada era tersebut, begitu juga perubahan peradaban masyarakat yang menjadi masyarakat industrial dan informasi pendidikan juga didisain mengikuti irama perkembangan masyarakat industri dan informasi, dan seterusnya, demikian siklus perkembangan perubahan pendidikan. Apabila tidak, maka pendidikan akan ketinggalan dari perubahan zaman yang begitu cepat.
Barangkali, kita perlu belajar dari kesalahan masa lalu yang terlalu menekankan kepada “nation building”  dan mematikan capital budaya bangsa [cultural capital] yang pada masing-masing suku bangsa kita merupakan kekuatan budaya nasional apabila dipupuk dan diarahkan secara posetif.  Demikian pula kita belajar dari kesalahan Orde Baru, di mana kesatuan dan persatuan nasional merupakan hal-hal hafalan belaka melalui program P-4 dan tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari oleh semua lapisan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Pada tingkat analisis kebudayaan, terdapat kesimpulan jujur mengenai pencapaian peradaban yang digerakkan oleh warisan Islan. Ketika tradisi Islam mulai diperkenalka, kaum muslimin dijanjikan bahwa mereka akan menjadi "komunitas paling mulia yang pernah muncul untuk umat manusia". Dorongan yang timbul akibat diterimanya ajaran-ajaran Qur'an oleh umat yang penuh ketaatan, ternyata berhasil luar biasa dalam membangun peradabannya. Peta keberhasil yang dicapai oleh peradaban Islam, dilukiskan oleh para pengamat menjangkau bidang-bidang yang begitu luas, seperti ilmu pengetahuan yang mencakup sains, teknologi, ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Peradaban Barat yang mendapat "label modern" sebenarnya mempunyai pertautan historis dengan peradaban Islam, atau dapat dikatakan bahwa peradaban modern Barat berutang budi pada peradaban Islam.
Persoalan yang dihadapi sekarang, adalah peradaban manusia berada di bawah hegemoni bukan muslim. Jelas, bahwa konstelasi peradaban sudah berubah dan sudah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Peradaban Islam tengah bergulat melawan hegemoni peradaban modern dan pergulatan itu terefleksikan dalam upaya pendidikan Islam. Dengan demikian Pendidikan Islam sekarang ini dihadapkan pada tantangan kehidupan peradaban manusia modern, maka pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan masyarakat modern. Dalam menghadapi suatu perubahan, diperlukan suatu disain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru. Apabila tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan menemui kegagalan. Untuk itu, pendidikan Islam perlu didisain untuk menjawab tantangan prubahan peradaban tersebut, baik pada sisi konsepnya, kurikulum, kualitas sumberdaya insaninya, lembaga-lembaga, organisasinya agar dapat relevan dengan perubahan masyarakat tersebut.
Alvin Tofler dalam bukunya The Third Wave [1980], bercerita tentang peradaban manusia, yaitu; [1] perdaban yang dibawa oleh penemuan pertanian, [2] peradaban yang diciptakan dan dikembangkan oleh revolusi industri, dan [3] peradaban baru yang tengah digerakan oleh revolusi komunikasi dan informasi. Perubahan tersebesar yang diakibatkan oleh gelombang ketiga adalah, terjadinya pergeseran yang mendasar dalam sikap dan tingkah laku masyarakat. Kemudian salah satu ciri utama kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Banyak paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman. Secara umum masyakarat modern adalah masyarakat yang proaktif, individual, dan kompetitif. Masyarakat modern dewasa ini, ditandai dengan munculnya perdaban pasca industri [postindustrial siciety] seprti dikatakan Daniel Bell, atau masyarakat informasi [information society] sebagai tahapan ketiga dari perkembangan perdaban seperti dikatakan oleh Alvin Tofler, tak pelak lagi telah menjadikan kehidupan manusia secara teknologis memperoleh banyak kemudahan. Tetapi pada masyarakat modern menjumpai banyak paradoks dalam kehidupannya. Revolusi informasi, sebagaimana dikemukakan Donald Michael, juga terjadi ironi besar. Semakin banyak informasi dan pengetahuan mestinya makin besar kemampuan melakukan pengendalian umum, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, artinya semakin banyak informasi telah menyebabkan semakin disadari bahwa segala sesuatunya tidak terkendali. Karena itu dengan ekstrim Ziauddin Sardar [1988], menyatakan bahwa abad informasi ternyata sama sekali bukan rahmat. Di masyarakat Barat, ia telah menimbulkan sejumlah besar persoalan, yang tidak ada pemecahannya kecuali cara pemecahan yang tumpul. Di lingkungan masyarakat kita sendiri misalnya, telah terjadi swastanisasi televisi, masyarakat mulai merasakan ekses negatifnya. Toynbee, melihat perkembangan peradaban modern yang semakin kehilangan jangkar spritual dengan segala dampak destruktifnya pada berbagai dimensi kehidupan manusia. Manusia modern ibarat layang-layang putus tali, tidak mengenal secara pasti di mana tempat hinggap yang seharusnya. Teknologi yang tanpa kendali moral lebih merupakan ancaman. Dan ancaman terhadap kehidupan sekarang tulis Erich Fromm, bukanlah ancaraman terhadap satu kelas, satu bangsa, tetapi merupakan ancaman terhadap semua.
Semua persoalan fundamental yang dihadapi oleh masyarakat modern, "menjadi pemicu munculnya kesadaran epistemologis baru bahwa persoalan kemanusian tidak cukup diselesaikan dengan cara empirik rasional, tetapi perlu jawaban yang bersifat transendental". Melihat persoalam ini, maka ada peluang bagi pendidikan Islam yang memiliki kandungan spritual keagamaan untuk menjawab tantangan perubahan tersebut. Fritjop Capra, dalam buku The Turning Point, yang dikutip  A.Malik Padjar, "mengajak untuk meninggalkan paradigma keilmuan yang terlalu materialistik dengan mengenyampingkan aspek spritual keagamaan. Demikianlah, pendidikan agama [Islam] pada akhirnya dipandang sebagai alternatif paradigma yang dapat memberikan solusi secara mendasar terhadap persoalan kemanusian yang sedang dihadapi oleh masyarakat modern". Tetapi  A. Syafii Maarif, menyatakan  bahwa sistem pendidikan tinggi modern yang kini berkembang di seluruh dunia lebih merupakan pabrik doktor yang kemudian menjadi tukang-tukang tingkat tinggi, bukan melahirkan homo sapiens. Bangsa-bangsa Muslim pun terjebak dan terpasung dalam arus sekuler ini dalam penyelenggaraan pendidikan tingginya. Kita belum mampu menampilkan corak pendidikan alternatif terhadap arus besar high learning yang dominan dalam peradaban sekuler sekarang ini. Prinsip ekonomi yang menjadikan pasar sebagai agama baru masih sedang berada di atas angin, dan manusia modern sangat tunduk kepada agama baru ini.
Untuk itu, pendidikan Islam tidak bisa menghadapi perubahan tersebut dengan menggunakan paradigma pendidikan Islam lama, yaitu pendidikan yang menurut Vernon Smith, memiliki ciri :  [1] ada suatu kumpulan pengetahuan dan keterampilan penting tertentu yang musti dipelajari anak-anak, [2] tempat terbaik bagi sebagian besar anak untuk mempelajari unsur-unsur ini adalah sekolah formal, dan [3] cara terbaik supaya anak-anak bisa belajar adalah mengelompokkan mereka dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan usia mereka. Kondisi  ini, juga dialami pendidikan Islam di Indonesia sampai dekade ini. Madrasah, pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain masih menganut sistem lama, yaitu kurikulum ditetapkan merupakan paket yang harus diselesaikan, kurikulum dibuat tanpa atau sedikit sekali memperhatikan relevansinya dengan kondisi sosial masyarakat bahkan sedikit sekali memperhatika dan mengantisipasi perubahan zaman, sistem pembelajaran berorientasi atau berpusat pada guru.  Memang pendidikan tradisional telah menjadi sistem yang dominan di tingkat pendidikan dasar dan menengah sejak paruh kedua abak ke-19, dan mewakili puncak pencarian elektik atas satu sistem terbaik. Pendidikan tradisional bukan merupakan sesuatu yang salah atau kurang baik, tetapi merupakan model pendidikan yang berkembang dan sesuai dengan tuntutan zamannya, yang tentu memiliki kelebihan dan kelemahan dalam memberdayakan manusia, tetapi apabila diharapkan dengan tuntutan perubahan peradaban kurang relevan. 
Dalam menghadapi peradaban modern, kita tidak bisa menggunakan paradigma pendidikan yang lama, tetapi harus menggunakan konsep pendidikan yang baru yaitu  pendidikan Islam yang menyentuh setiap aspek kehidupan peserta didik,  pendidikan merupakan proses belajar yang terus menerus, pendidikan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dan pengalaman, baik di dalam maupun di luar situasi sekolah,  pendidikan dipersyarati oleh kemampuan dan minat peserta didik, juga tepat tidaknya situasi belajar dan efektif tidaknya cara mengajar. Pendidikan pada masyarakat modern atau masyarakat yang tengah bergerak ke arah modern [modernizing], seperti masyarakat Indonesia, pada dasarnya berfungsi memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosial kulturalnya yang terus berubah dengan cepat. Menurut Shipman [1972:33-35] yang dikutip Azyumardi Azra, menyatakan bahwa fungsi pokok pendidikan dalam peradaban masyarakat modern, yaitu: [1] sosialisasi, [2] pembelajaran [schooling], dan [3] pendidikan [education]. Ketiga fungsi tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, sebagai lembaga sosialisasi, pendidikan adalah sarana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Kedua, pembelajaran [schooling] mempersiapkan mereka untuk mencapai dan menduduki posisi sosial-ekonomi tertentu dan, karena itu, pembelajaran harus dapat membekalai peserta didik dengan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi yang akan membuat mereka mampu memainkan peran sosial-ekonomis dalam masyarakat. Ketiga, pendidikan merupakan "education" untuk menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan besar bagi kelanjutan program pembangunan.
Dengan demikian perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, baik sosial maupun kultural, secara makro merupakan persoalan yang dihadapi pendidikan Islam yaitu bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat yaitu pendidikan Islam yang mampu mentranspormasikan nilai-nilai ajaran Islam dan budaya secara sistematis untuk mencapai kemajuan individual dan masyarakat. Persoalan yang dihadapi dalam mengembangkan pendidikan Islam, yaitu : pertama, persoalan filosofis, dan kedua, adalah persoalan metodologis pendidikan Islam. Untuk itu, pendidikan Islam dituntut menghadirkan suatu wacana filosofis berupa pandangan, orientasi, tujuan pendidikan Islam, dan kurikulumnya serta metodologisnya yaitu menyangkut cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya untuk mencapai kemajuan individual dan masyarakat, menuju masyarakat madani yang dicita-citakan pemerintah dan masyarakat Indonesia.

F. Catatan Penutup
Dari pembahasan dan kajian di atas, dapat disimpulkan : Pertama, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Pendidikan merupakan produk dari kebudayaan manusia dan menjadi bagian dari kebudayaan. Pendidikan berupaya untuk mewariskan, meneruskan, menggambarkan corak dan arus kebudayaan yang sedang berkembang.  Kedua, pendidikan berusaha untuk memperbarui, mengubah dan mengembangkan kebudayaan agar mencapai kemajuan baik individual maupun masyarakat.  Ketiga, kedudukan dan fungsi pendidikan sebagai pusat pengembangan kebudayaan, pusat kajian, dan pengembangan ilmu-ilmu untuk mencapai kemajuan peradaban manusia.

DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur'an dan Terjemahan, surah 28 : ayat 77.

Ancok, Djamaluddin, 1998, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium ke Tiga, Psikologi, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor: 6 Tahun III, UII, Yogyakarta.

Asy’arie, Musa ,1992, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Lembaga Studi Filsafat Islam [LESI] Yogyakarta.
-------,1999, Filsafat Islam Tentang Kebudayaan, Cet.Pertama, LESFI, Yogyakarta.

Azra, Azyumardi, 1996, Pembaruan Pendidikan Islam Sebuah Pengantar, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Jakarta: CV. Amissco.

Fadjar, Abdullah, 1991,Peradaban dan Pendidikan Islam,Cet.Pertama,Rajawali Pers,Jakarta.

Fadjar, A. Malik, 1995, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Makalah Seminar dan Lokakarya “Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21”, IAIN,Cirebon,Tgl. 31 Agustus-1 September 1995, Cirebon.

Freire, Paulo, 1999, Menggungat Pendidikan Fundamental Konservatif Liberal Anarkis, Terj., Omi Intan Naomi, Pustaka Pelajar.

Husain, Syed Sajjad, dan Syed  Ali Ashraf, 1986, Crisis Muslim Education (Krisis Pendidikan Islam), terj., Rahmani Astuti, Bandung: Risalah.

Langgulung, Hasan, 1988, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke 21, Cet.I, Radar Offset, Jakarta.

Maarif, Ahmad  Syafii, 1996, “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”, Jurnal Pendidikan Islam [JPI],  [No.2 Th. Fakultas Tarbiyah UII, 1 Oktober 1996].
-------,1997, Pemikiran Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Citra dan Fakta, Editor: Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Machmud, M. Dimyati, 1979, Psikologi Pendidikan, Suatu Pendekatan Terapan [Edisi 1], BPFE, Yogyakarta.

Natsir, M. 1973, Kapita Selecta, Bulan Bintang, Jakarta.

Rahman, Fazlur, 1997, Islam,  terj. Ahsin Mohammad, Pustaka, Bandung.

Rosidi, Ajip, Pendidikan dan Kebudayaan, From: hhttp://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/05/pddkn/1164164.htm, 1 maret 2006.

Sanaky, Hujair AH., 2002, Pembaruan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani Indonesia [Tinjauan Sosio-kultural Historis], Tesis S-2, Magister Studi Islam, Yogyakarta.

Sudiro, M. Irsyad, Pendidikan Agama dalam Mansyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah Dalam Masyarakat Modern, Cirebon,Tgl. 30-31 Agustus 1995.

Tilaar, H.A.R., 1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Remaja Rosdakarya, Bandung.
-------,2004, Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Grasindo, Jakarta.

Usa, Muslih, [Ed.],1991, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta,Tiara Wacana,Cet.I, Yogyakarta.

Related Posts:

CIVIL SOCEITY DAN MASYARAKAT MADANI



A.  Pendahuluan
 “Civil society dan/atau “masyarakat madani” merupakan salah satu upaya untuk mengerti bagaimana kita dapat menjadi bangsa negara [nation-state], yang baik. Wacana civil society sebetulnya sudah mulai berkembang sejak dekade 70-an bersama dengan mulai maraknya lembaga swadaya masyarakat [LSM] di Indonesia. Memasuki dekade 80-an, wacana ini makin merebut perhatian publik. Pada dekade tersebut, kekuasaan Orde Baru sedang di puncak kejayaannya dengan wacana tunggal yang sangat hegemonik yang ditandai penetapan “Pancasila” sebagai asas tunggal. Wacana lain yang muncul diluar Pancasila “ibarat barang haram” yang bukan saja dilarang, tetapi juga diimbangi dengan tindakan hukum yang represif.
 Indonesia, menurut Prof. Bernard Adeney, “sudah memiliki definisi yang cukup hebat tentang masyarakat baik atau civil atau “madani”, yaitu Pancasila.  Menurutnya, pancasila muncul sebagai hasil dari musyawarah mufakat yang menyatakan semacam visi untuk civil society. Menurut Prof. Bernard Adeney, visi ini dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu : [1] Pancasila dimengerti sebagai persetujuan [mufakat], tentang apa yang menjadi landasan bangsa negara yang paling mendasar. “Yang paling dasar” dapat diterjemahkan sebagai yang paling minimal. Pancasila merupakan visi bangsa negara yang dapat disetujui oleh semua unsur masyarakat Indonesia, walaupun bukan visi paling sempurna kelompok-kelompok tertentu. [2] Pancasila diciptakan sebagai aturan main, yaitu sila-sila yang mangatur proses membangun bangsa negara yang diinginkan. Hal ini berarti bahwa struktur negara, hukum da kebijaksanaan pemerintah adalah seyogianya sesuai dengan Pancasila.  Proses membangun negara yang jelas bertentangan dengan Pancasila seharusnya ditolak. [3] Pancasila juga dimengerti sebagai tujuan ideal bangsa negara Indonesia. Indonesia bertekad menjadi bangsa negara yang “pancasilais” walaupun tujuan ideal itu belum terwujud”.   
Civil Society merupakan semacam konstruksi sosial simbolis yang tidak pernah terwujud secara riel atau nyata dalam masyarakat manapun. Tidak ada kenyataan yang dapat disebut Civil Society di dunia nyata. Hal ini juga sama dengan simbol masyarakat madani adalah suatu simbol tentang salah satu visi dari suatu masyarakat. Menurut  Prof. Bernard Adeney, ada saudara Muslim yang menegaskan bahwa sudah pernah ada masyarakat madani, yaitu masyarakat Madinah. Namun, Madinah, telah lahir “ratusan tahun yang lalu bukan sama dengan Indonesia abada 21”. Apabila masyarakat Indonesia yang madani diusahakan, akan menjadi perbuatan yang kurang lebih baru di dunia ini dan tidak pernah sempurna.
Apakah civil society dan masyarakat madani dapat dilaksanakan atau diiaktualisasikan di masyarakat Indonesia. Jawaban sementara, apabila konsep ini akan diaktualisasikan di masyarakat Indonesia, diperlukan suatu perubahan mendasar dan langkah-langkah kontinyu sistimatis yang dapat merubah paradigma, kebiasaan, dan pola hidup masyarakat Indonesia. Walaupun di sisi lain Prof. Bernard, menyatakan bahwa “masyarakat madani”  kurang cocok lagi untuk masyarakt Indonesia pada abad 21 ini. Kedua konsep ekstrim ini [yang liberal Barat dan yang Muslim Arab], kurang cocok di Indonesia dan kita harus mencari pengertian kedua konsep tersebut agar sesuai dengan sejarah dan konteks Indonesia.   Menurut hemat pemakala, “karakteristk” atau ciri-ciri masyarakat madani dapat digunakan dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini, artinya dilakukan pembaruan.  Maka apabila kita menginginkan untuk mewujudkan kedua konsep ini, tanpaknya masyarakat dan bangsa Indonesia harus disiapkan dan siap untuk  “membangun infrastruktur sosial, budaya, ekonomi, agama dan politik untuk mendukung ciri-ciri atau karakteristik masyarakat madani dan civil society  yang diharapkan”.  Walaupun, “cita-cita civil society atau masyarakat madani  yang dapat diterima oleh keseluruhan bangsa-negara Indonesia belum jelas”.
Dari pemikiran di atas, pembahasan lebih difokuskan pada “masyarakat madani”. Oleh karena itu, terlebih dahaulu sedikit menelususi akar sejarah, makna  “civil society” dan "masyarakat madani", kemudian mencari  perbedaan kedua konsep ini, membahas  perubahan menuju masyarakat madani Indonesia dengan fokus pada tantangan, peluang, serta  terebosan untuk mewujudkan masyarakat  Indonesia berperadaban.   

B. Akar Sejarah, Makna Civil Society  dan Masyarakat  Madani   
Sebagai konsep sosial yang lahir pada abad ke-18, civil society sangat terbuka terhadap perkembangan, pemaknaan dan penafsiran.  Jika dilacak secara emperik istilah civil society  merupakan terjemahan dari istilah Latin, civilis societas, yang mula-mula dicetuskan dan dipakai oleh Cocero [106-43 S.M] seorang filsuf, orator   dan pujangga Roma -  yang berkembang seiring dengan kemajuan pemikiran waktu itu.  Pengertiannya mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Maka masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik [political society] yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup.
Pada mulanya civil society dipahami sebagai komunitas negara yang anggota-anggotanya adalah warga.  Dalam konteks ini, civil society  identik dengan negara.  Hegel, termasuk yang membolehkan negara melakukan intervensi terhadap civil society. Karena, dengan kebebasan mengembangkan aspirasi dan kepentingan dari setiap warga, maka civil society dengan sendirinya butuh bantuan negara untuk melakukan pengaturan, lewat kontrol hukum, administrasi dan politik. Tetapi pada perkembangan selanjutnya,  civil society mengalami perkembangan makna sebagai entitas yang terpisah dari negara.  Tokoh yang memulai adalah Thomas Pain [1792] yang memaknai civil society dalam posisi diametral dengan negara, bahkan civil society  dinilai sebagai antitesis negara.
Wacana Civil society dan/atau “masyarakat madani”  bukan merupakan konsep yang dengan mudah dapat diapresiasikan dalam konteks Indonesia. Bukan hanya karena karakter sosial, budaya, serta politik kita berbeda dengan tempat asal konsep ini lahir, tetapi secara teknis ”kebahasaan” juga sulit ditemukan padanan atau kesamaannya. Ada yang menerjemahkan sebagai “masyarakat sipil”, yang kemudian diperhadapkan dengan masyarakat militer. Ada yang menerjemahkan sebagai “masyarakat madani” dengan merujuk pada ideal type masyarakat Islam di Madinah pada masa-masa awal kedatangan Islam.  Padahal civil society merujuk pada sebuah masyarakat yang ada dalam suatu Negara yang disebut nation-state [Negara bangsa], bukan Negara yang didasarkan pada agama maupun Negara yang didasarkan pada suku [tribal-state]. Kemudian ada juga yang menerjemahkan sebagai masyarakat warga atau masyarakat kewargaan.  Tanpaknya, terjemahan terakhir inilah yang agaknya lebih dekata dengan substansi civil society.  Tetapi masih ada juga kelompok lain yang enggan menerjemahkan istilah ini sehingga tetap menggunakan istilah civil society, karena kemungkinan sulit dicari padanannya dalam konteks bahasa Indonesia.  
Tampaknya dari pandangan di atas, kita mengalami kesulitan dalam mencari padanan kata ”civil society” dalam bahasa Indonesia, sehingga kata ini diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu ”masyarakat sipil”, ”masyarakat madani”,  ”masyarakat warga” atau ”masyarakat kewargaan”.  Prof. Bernard Adeney, mengatakan bahwa makna civil society tidak ada satu kata dalam bahasa Indonesia yang cocok untuk menerjemahkan kata bahasa Inggris “civil”.  Juga dalam bahasa Inggris sendiri-pun mempunyai banyak makna yang berbeda,  tetapi mempunyai banyak nuansa lain. Konsep ini sangat kaya dan sekaligus agak kabur.  
Prof. Bernard Adeney mencoba mengemukakan tiga makna dari kata civil, yang paling cocok dengan istilah civil society, yaitu :   Pertama, Civil dapat berarti ”civilized” atau beradab.  Civil Society bearti masyarakat beradab atau madani, walaupun maknanya kurang jelas. Tetapi dalam bahasa Inggris, paling sedikit, civil berarti hubungan diantara masyarakat yang sopan, halus dan toleran terhadap satu sama lain. Menurutnya, ini adalah makna civil yang minimal dan bukan maksimal. Artinya, civil tidak bermaksud mencintai, gotong royong, bersaudara, kerja bahu-membahu atau bahkan simpatik. Civil hanya berarti sopan, toleran, tidak kasar.  Kedua, Civil – berarti seorang, kelompok,lembaga atau instansi yang ”bukan negara” [state].  Biasanya pengertian ini lebih ditekankan adalah lembaga dan institusi yang diciptakan masyarakat sendiri tanpa campur tangan pemerintah.  Konsep ini lebih terfokus pada pemisahan kekuasaan [separation of power], yaitu pemerintah tidak boleh menguasai atau mengendalikan perkumpulan masyarakat kecuali ketika kebaikan umum [common good] terancam.  Maka lembaga masyarakat seperti LSM atau lembaga pendidikan, atau lembaga agama seharusnya bebas untuk mengatur diri sendiri, selama mereka tidak melanggar hukum atau mengganggu kelompok lain. Lembaga-lembaga LSM, tokoh-tokoh universitas, wartawan-wartawan dan pemimpin-pemimpin agama.  Ketiga, civil - berarti ”bukan militer”. Seorang ”civilian” adalah yang bukan militer.  Dari makna ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat civil [sipil] adalah masyarakat yang terpisah dari militer dan tidak termasuk militer.  Militer tidak boleh campur tangan dengan kehidupan masyarakat sipil. Dalam hal ini, tidak hanya ada civil  society tetapi juga civil government [pemerintahan sipil]. Pemerintah sipil tidak dikuasai oleh militer dan tidak boleh memerintah atau mengendalikan masyarakat melalui militer.
Dari ketiga makna di atas, dapat disimpulkan bahwa ”civil society sebagai masyarakat yang sopan dan toleran terhadap satu sama lain, yang mampu mengatur diri sendiri melalui perbagai lembaga, tanpa campur tangan pemerintah, dan yang bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan militer.  Definisi seperti ini bersifat ideal dan minimal. Ideal dalam arti belum pernah ada masyarakat seperti ini terwujud secara sempurna dan masyarakat Indonesia masih agak jauh dari gambaran defenisi ini” atau protitype masyarakat ini.  Begitu juga ”masyarakat madani” yang merupakan kata lain dari civil society.  Kata ini sering disebut sejak kekuatan otoriter Orde Baru tumbang selang satu tahun. Malah  cenderung terjadi sakralisasi pada kata itu seolah-oleh implementasinya mampu memberi jalan keluar untuk masalah yang tengah dihadapi bangsa Indonesia.
Identifikasi protitype civil society dan masyarakat madani semacam ini sebetulnya dapat dipahami dan ideal untuk suatu masyarakat, meski mungkin masih dapat diperdebatkan. Pada masa Orde Baru hampir-hampir tidak ada organisasi yang terbebas dari kooptasi kekuasaan pemerintahan.  Katakan saja, organisasi-organisasi dengan massa dan keanggotaan yang luas biasa besar, seperti NU dan Muhammadiyah tidak sepenuhnya dapat dianggap mandiri, otonom, dan steril dari intervensi Negara. Hal ini bukan berarti organisasi itu tidak mampu bersikap ”independent” dan ”otonom”, tetapi negara dan atau pemerintahan versi Orde Baru merupakan Negara yang mengurusi hampis segala hal atau segala aspek kehidupan, bahkan sampai pada hal yang sifatnya paling pribadi seperti dalam kasus KB, diatur oleh negara.  Dari kondisi ini dapat dipahami bahwa civil society tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam kekuasaan Orde Baru. 
Berbicara tentang wacana dan gagasan "masyarakat madani" yang berkembang di Indonesia merupakan terjema­han dari civil society?, tetapi masih dipertanyakan, apakah sama antara istilah "masyarakat madani" dengan istilah civil society.  Berbagai "pemikiran yang dilontarkan seputar civil society, yang di Indonesia telah diterjemahkan menjadi "masyarakat sipil" atau "masyarakat madani". Padahal kita tahu, bahwa sebenarnya istilah ini merupakan imbas dari perkembangan pemikiran yang terjadi di dunia Barat, khususnya di negara-negara industri maju di Eropa Barat dan Amerika, dalam perhatian mereka terhadap perkembangan ekono­mi, politik, sosial-budaya. Sedangkan masyarakat madani lahir dari ”masyarakat Muslim Arab”  yang juga memiliki akar budaya yang berbeda dan masyarakat di Madinah berdasarkan syariat Islam.  Tentu saja kedua konsep ini secara sosial, budaya dan politik berbeda dengan sosial-budaya dan politik masayarakat dan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila.  Tetapi tidak menutup kemungkinan, menurut Prof. Bernard Adeney, bahwa  ”masyarakat madani merupakan konsep yang lebih cocok untuk Indonesia, atau untuk sebagian dari masyarakat Indonesia, dari pada konsep civil society”.  Kenapa, karena secara sosio-relegius ada kesamaan pandangan dan pemahaman dengan sebagian besar masyarakat Indonesia, bila dibandingkan dengan konsep civil society yang berasal dari pemikiran liberal Barat.
Istilah masyarakat madani, pertama kali dipopulerkan oleh Muhammad an-Naquib al-Attas, yaitu 'Mujtama' madani atau masyarakat kota. Istilah ini secara etimologi mempunyai dua arti, yaitu : [1]  "Masyarakat kota. Ini berarti  madani adalah derivat dari kata bahasa Arab, ”Madinah” yang berarti kota. [2] Masyarakat yang berperadaban, karena madani adalah juga merupakan derivat dari kata Arab tamaddun atau madaniah yang berarti ”peradaban”, dengan demikian masyarakat madani adalah ”masyarakat yang beradab”.  Peradaban dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah  civility atau civilization. Dari pengertian ini kemudian istilah masyarakat madani disamakan dengan civil society, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
Di Indonesia, Istilah masyarakat madani pertamakali dibawa dan dipopulerkan  Dato Seri Anwar Ibrahim, pada saat menghadiri Fertival Istiqlal di Jakarta. Istilah "masyarakat madani" menurutnya sebagai terjemahan "civil society". Namun istilah masyarakat madani, tidak identik dengan civil society.  Walaupun ada kesamaan konsep tentang masyarakat beradab, sopan, toleran, dan sebagainya, tetapi masyarakat madani di Madinah dibangun berdasarkan syariat Islam. Ini menunjukkan letak perbedaan anatara konsep masyarakat madani dan civil society. Maka dalam memperkenalkan pengertian masyarakat madani di Indonesia, Nurcholis Madjid mengacu pada konsep "negara kota Madinah" yang dibangun Nabi Muhammad saw pada 622 M, dengan syariat Islam. Istilah masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamaddun [masyarakat berperadaban] yang diperkenalkan Ibn Khaldun dan konsep al-madinah al-fadhilah [negara utama] yang dikemukakan filsof Al-Farabi pada abad pertengahan.
Nurchalis Madjid, mengatakan perkataan Arab "Madinah" artinya kota, dan secara etimologis berarti "tempat peradaban". Menurutnya, pengertian Madinah mirip atau padanan perkataan Yunani "polis" [seperti dalam nama kota "Constantinopel], dan "Madinah" dalam pengertiannya sama dengan "hadharah" dan "isaqarah", yang masing-masing sering diterjemahkan "peradaban" dan "kebudayaan". Kedua istilah ini  secara etimologis mempunyai arti "pola kehidupan menetap" sebagai lawan "badawah" yang berarti pola kehidupan mengembara, "nomad".  Maka perkataan "madinah", dalam peristilah modern, menunjuk kepada semangat dan pengertian "civil society", istilah Inggris yang berarti "masyarakat sopan, beradab dan teratur" dalam bentuk negara yang baik.
Dari sini, dapat dikatakan bahwa konsep "masyarakat madani" adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kedasaran umum untuk patuh pada peraturan atau hukum. Dengan demikian, variabel utama masyarakat madani adalah masyarakat beradab, sopan, teratur, memiliki kemandirian [otonomi], kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat serta kesempatan yang sama dalam mempertahankan kepentingan di depan umum. Jadi konsep masyara­kat berperadaban dalam masyarakat madani adalah masyarakat yang berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan, masyarakat yang bercirikan kebebasan dan demokrasi dalam berinteraksi di dalam masyarakat yang plural.
Dari paparan di atas, dapat kita lihat perbedaan yang tampak jelas adalah civil society tidak mengaitkan prinsip tatanan pada agama tertentu, sedangkan masyarakat madani [al-madaniy] jelas mengacu pada agama Islam. Konsep masyarakat madani adalah bangunan politik yang demokratis, menghormati dan menghargai publik seperti: kebebasan hak asasi, partisi­pasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lain sebagainya yang didasarkan pada syariat Islam. Hal inilah yang mungkin dikhawatirkan oleh sebagian masyarakat no-muslim apabila konsep masyarakat madani diujudkan di Indonesia.  Kekhawatiran itu tidak perlu muncul, apabila konsep masyarakat madani  difahami sebagai masyarakat yang berperadaban, bera­dab, masyarakat sipil, menghargai perbedaab agama dan menghargai pluralistik. Tuntutan masyarakat madani yang diharapkan kaum reformis adalah "masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar", masyarakat yang "jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak kepada yang lemah, menjamin kebebasan bera­gama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia", dapat diujudkan di masyarakat Indonesia yang plural.
Melihat konsep masyarakat madani sebagai masyarakat yang beradab, sopan dan teratur apakah dapat diujudkan di Indonesia. Kelihatannya masyarakat Indonesia mengalami kendala untuk menerapkan konsep civil society dan masyarakat madani, sebab setelah rezim Orde Baru tumbang dan dimulai dengan ”era reformasi” yang menggiring masyarakat Indonesia ke-euforia domokrasi yang berdampak pada “euforia kebebasan” yang nyaris “kebablasan”.  Indikasinya, masyarakat bertindak bebas dan anarkis, masyarakat main hakim sendiri, pembunuhan dan pemerkosaan merupakan hal yang biasa,  kekerasan terjadi dimana-mana, konflik bernuansa SARA yang terjadi Maluku [Ambon], Maluku Utara dan Poso, tindak kekerasan terhadap aliran agama tertentu [Ahmadiyah], peristiwa tragis  berdarah di depan Universitas Cendrawasi Abepura Papua yang bersifat anarkis dan “kebablasan” sehingga menelan korban jiwa, dan peristiwa kekerasan lain yang terjadi di masyarakat Indonesia.  Itulah realitas kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini.  Menurut Prof. Bernard Adeney, perilaku semacam ini, dikatakan  “kurang civil, bahkan dapat dikatakan “uncivil society  [masyarakat biadab]”.  Dengan realitas ini, mungkinkah kita akan mengatakan bahwa masyarakat Indonesia masih jauh dari protetype civil society dan “masyarakat madani” atau yang selalu disebut dengan istilah  “Indonesia Baru”.     
Dengan mengetahui akar sejarah dan makna civil society dan masyarakat madani sebagai masyarakat yang beradab, berperadaban, masyarakat sipil, masyarakat yang sopan, teratur dan pluralistik, maka perlu untuk mengkaji karakteristik masyarakat madani sebagai upaya untuk melakukan pembaruan sosio-kultural masyarakat Indonesia, walaupun akan melalui jalan yang panjang sekali.

C.  Karakteristik  Masyarakat Madani
Dari gambaran "masyarakat madani" dari para ahli tersebut,  timbul pertanyaan protetype apakah yang menjadi karakteristik  masyarakat tersebut.  Secara umum dapat disimpulan, bahwa karakteris­tik "masyarakat madani" adalah masyarakat kota, masyarakat yang berperadaban, masyara­kat yang dapat menciptakan peradaban, masyarakat yang memiliki pola kehidupan yang benar yaitu pola kehidupan masyarakat yang menetap dan bukan masyarakat nomaden. Masyarakat terbuka, pluralistik, menjamin kebebasan beragama, jujur, adil, kemandir­ian, harmonis, menjamin kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia.  Pelaku sosial akan selalu berpegang teguh pada perada­ban dan kemanusian, yang selalu bercirikan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang plural dan heterogen.
Katakan saja, masyarakat madani yang akan diwujudkan antara lain memiliki karakteristik sebagai berikut :  [1] Masyarakat beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki pemahaman mendalam akan agama serta hidup berdampingan dan saling menghargai perbedaan agama masing-masing. [2] Masyarakat demokratis dan beradab yang menghargai adanya perbedaan pendapat. Memberi tempat dan penghargaan perbedaan pendapat serta mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu, kelompok dan golongan. [3] Masyarakat yang menghargai hak-hak asasi manusia, mulai dari hak untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul, berserikat, hak atas kehidupan yang layak, hak memilih agama, hak atas pendidikan dan pengajaran, serta hak untuk memperoleh pe­layanan dan perlindungan hukum yang adil. [4]  Masyarakat tertib dan sadar hukum yang direfleksikan dari adanya budaya malu apabila melanggar hukum, dan [5] Masyarakat yang kreatif, mandiri dan percaya diri. Memiliki orientasi kuat pada penguasaan ilmu pengatahuan dan teknologi. [6] Masyarakat yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat kemanusiaan universal [pluralistik].  Karakteristik yang dikemukakan ini sangat ideal, perlu upaya untuk membangun infrastruktur sosial, budaya, ekonomi, politik dan pendidikan. Upaya untuk mengeliminir dan mengatasi berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di negeri ini, sehingga dapat mewujudkan cita-cita masyarakat madani Indonesia.
Karakteristik masyarakat madani merupakan ciri yang sangat idial, sehingga mengesankan seolah-olah tak ada masyarakat seideal itu. Kalau ada, hanya masyarakat muslim yang langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw yang relatif memenuhi syarat tersebut.  Muncul kesan seolah-olah tak ada masyarakat seideal masyarakat madinah. Memang hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam sabdanya, "tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat atau sebaik-baik masa adalah masaku" [ahsanul qurun qarni]. Terlepas dari status sahih dan tidaknya sabda ini, ataupun siapa pun periwayatnya. Diakui  bahwa masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad Saw sebagai masyarakat terbaik dan berperadaban, karena masyarakat Madinah yang dipim­pin langsung oleh Nabi Muhammad Saw merupakan prototype masyarakat idial.  Dalam wacana ini, orang  cenderung menyamakan konsep masyarakat madani dengan civil society, karena sama-sama membangun peradaban manusia.
 Nurchalis Madjid, menyatakan bahwa "masyarakat madani" yang dibangun  Rasul di Madinah dengan azas yang ter­tuang dalam "Piagam Madinah", memiliki 6 [enam] ciri utama, yaitu : [1] egalitarianisme, [2] penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi [bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya], [3] keterbukaan [partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif], [4] penegakan hukum dan keadi­lan, [5] toleransi dan pluralisme serta [6] musyawarah.  Mungkin saja, ke-enam karakteristik  ini  dapat dilaksanakan atau diujudkan dalam masyarakat Indonesia, asalkan masyarakat Indonesia siap merubah semua aspek kehidupan.
Dari uraian di atas, jelas konsep civil soceity berasal dan muncul dari pandangan pemikir-pemikir Barat, kemudian konsep ini diakomudasikan dalam wacana pemikiran Islam.  Padahal Islam sendiri telah memiliki konsep yang jelas dan gamblang dalam asas dan perinciannya tentang masyarakat ideal yang wajib diwujudkan kaum muslimin.  Masyarakat tersebut adalah masyarakat yang di dalamnya dapat merealisasikan nilai-nilai khas yang terpancar dari aqidah. Dari aqidah tersebut, memancarkan apa yang disebut dengan egaliter, pluralisme, toleransi, demokrasi.
Nurchalis Madjid, "berusaha menawarkan persepsi yang sama antara masyarakat madani dalam suatu bentuk yang disebut "Ijtihad kontemporer" sebagai alternatif ideal masyarakat masa depan Indonesia dengan protetype masyarakat Rasul di Madinah.  Ide Nurchalis Madjid ini, dikiritik oleh pemikir-pemikir Islam lainnya di Indonesia, dikatakan bahwa Nurchalis Madjid, telah melakukan suatu penganalog yang sangat tidak adil dan tidak beralasan karena hanya melihat masyarakat madani dari segi kemajemukan semata tanpa mengaitkan dengan sistem khas yang telah mengatur tatanan masyarakat Madinah tersebut sedemikian rupa, se­hingga dipertanyakan apakah konsep Nurchalis Madjid itu lebih dekat kepada masyar­akat Islam di Madinah atau jangan-jangan lebih mirip dengan masyarakat di Barat liberal.  Padahal negara dan masyarakat Madani yang dibangun Nabi Muhammad Saw adalah negara dan masyarakat yang "kuat" dan "solid" dengan nilai-nilai khas yang terpancar dari keyakinan aqidah Islamiyah.  Negara yang dibangun di atas masyarakat yang bersatu tidak hanya karena kepentingan yang sama yang menjadi sebab terbentuknya mayoritas negara modern, tetapi terbentuk karena memiliki perpektif yang sama, perasaan yang sama dan misi yang sama dalam membangun suatu masyarakat. Maka atas dasar persamaan ini menjadikan seluruh perbedaan yang ada seperti perbedaan suku, warna, ekonomi dan sebagainya hanya menjadi keberagaman dan kekayaan bukan sebab perpecahan.
Terlepas dari perdebatan tersebut di atas, karakteristik dan ciri masyarakat madani yang dikemukakan adalah sangat ideal. Cleary and Watson dalam Antonio Rosmini [1986:vii], menyatakan bahwa masyarakat madani atau civil soceity adalah "organi­sasi manusia yang sempurna, sebagai konsekuensi perkembangan hidup dan kuantitasnya, dan manakala bakat-bakat alamiah yang ia miliki saling bersinggungan dan bergesekan. Banyak pemikir yang menyatakan, bahwa untuk membangun masyarakat madani diper­lukan tingkat pendidikan yang memadai dan berkualitas, ekonomi yang memadai, suasana dan kesadaran politik yang kondusip, demokrasi,  hukum yang kondusip serta mendukung, dan jaminan keamana sebagai prasyarat untuk membangun masyarakat madani. Selain itu, masyarakat madani dengan karakteristik tersebut hanya dapat diwujudkan melalui pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan peran pendidikan untuk membangun masyarakat tersebut.

D. Proses  Perubahan Menuju Masyarakat Madani di Indonesia
Proses perubahan menuju masyarakat madani sangat terkait dengan kehidupan politik bangsa, budaya, pendidikan, berpikir kritis, hukum, keadilan, keterbukaan, kemaje­mukan atau pluralisme serta perlindungan terhadap kaum minoritas. Dalam masyarakat madani tercipta "keseimbangan antara kebebasan individu dan kestabilan masyarakat. Inisiatif individu dalam bidang pemikiran, seni, ekonomi, teknol­ogi, dan pelaksanaan pemerintahan yang mengikuti undang-undang dan hukum yang berlaku dengan baik". Tercipta "kemandirian individu, keluarga, lembaga-lembaga sosial lainnya seperti media massa, betul-betul dihargai tanpa ada pengaruh langsung dari negara atau pemerintah", dan   "masyarakat yang dapat mengembangkan sumberdayan­ya tanpa harus dikontrol oleh negara secara ketat, dan keadilan sosial berjalan sebagaimana mestinya".
Masyarakat Indonesia sedang berada dalam masa transformasi, era reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidu­pannya menuju kehidupan masyarakat madani. Muncul tuntu­tan untuk mewujudkan pemerintahan bersih, pada satu sisi dan cita-cita mewujudkan ma­syarakat madani [civil society], nampaknya tidak boleh ditawar-tawar lagi. Proses untuk menuju dan mewujudkan masyarakat madani tentu tidak mudah, karena diperlukan beberapa persyaratan untuk mengimplemtasikan konsep tersebut, tantangan yang dihadapi, serta peluang melakukan perubahan menuju masyarakat madani yang dicita-citakan, yaitu :
1.   Persyaratan Menuju Masyarakat Madani
Sebagai sebuah gagasan tentang sistem kehidupan masyarakat madani, tentu tidak mudah untuk dicapai begitu saja. Dibutuhkan beberapa persyaratan agar gagasan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik. Beberapa persyaratan yang diperlukan untuk mewujudkan masyarakat madani, yaitu : Pertma, pemahaman yang sama [One Stan­dard], Kedua, adanya keyakinan [Confidence] dan saling percaya [Social Trust], Ketiga, satu kesatuan atau satu hati dan saling tergantung, Keempat, perlu adanya kesamaan pandangan tentang tujuan dan misi, menuju masyarakat madani.
Jika keempat persyaratan di atas dapat dipenuhi, maka relatif akan lebih mudah untuk merumuskan berbagai kebijakan dan strategi untuk mewujudkan masyarakat madani yang dicita-citakan. Maka, kunci utama dari keberhasil mewujudkan masyarakat madani yang dicita-citakan itu, secara kultural antara lain terletak pada prasyarat-prasyarat yang disebutkan di atas. Kemudian selain keempat persyaratan tersebut, yang harus diperha­tikan adalah tantangan yang hadapi dewasa ini untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan.


2.   Tantangan Menuju Masyarakat Madani
Untuk mewujudkan masyarakat madani di Indonesia dengan ciri serta persyaratan yang dikemukakan tentu bukan merupakan hal yang mudah. Diperlukan upaya, kerja keras dan daya tahan yang tinggi untuk mengatasi berbagai kendala dan tantangan yang hadir, baik kendala yang berhubungan dengan struktur sosial, maupun kendala yang berkai­tan dengan keadaan masyarakat Indonesia yang pada saat ini sedang mengalami berbagai guncangan" sepeti krisis moneter, tuntutan pemerintahan yang demokrasi, bersih serta berwibawa. Konflik antara masyarakat dibeberapa daerah yang mengarah kepada disintegrasi bangsa. Secara umum ada dua kendala yang dihadapi dalam mewujudkan masyarakat madani, yaitu kendala yang bersifat struktural maupun kultural.
Pertama, secara struktural dominasi negara dan birokrasi kekuasaan masih sangat kuat, sehingga wilayah masyarakat madani terdesak. Kondisi ini sebagai akibat dari budaya politik yang ditinggalkan Orde Baru, karena selama Orde Baru telah tercipta suatu kehidupan bangsa yang tidak sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Pemerintahan Orde Baru yang represif telah menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang tertekan, tidak kritis, manusia yang bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan sekelompok kecil rakyat Indonesia.  Masyarakat Indonesia selama 32 tahun telah terkooptasi dengan budaya politik pemerintah Orde Baru. Kehidupan "demokrasi telah dipasung sehingga tidak ada kebebasan berpendapat apalagi berbeda pendapat. Pikiran manusia diarahkan kepada hanya ada satu kebenaran yaitu untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada". 
Kedua,  secara kultural, warga masyarakat masih terper­angkap dalam mentalitas dan budaya paternalistik. Orientasi dan ketergantungan pada pemimpin dan penguasa masih tinggi, membuat kemandirian kurang berkembang.  Tantangan sosial budaya yang cukup berat adalah pluralitas ma­syarakat Indonesia. Pluralitas tidak hanya berkitan dengan budaya saja, tetapi juga persoalan sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Bangsa Indonesia telah lama merdeka, tetapi pluralitas masyarakat itu kurang dimanfaatkan sebagai potensi yang didinami­sasikan untuk memacu pembangunan. Kebijakan politik pembangunan selama ini justru berkesan menjadikan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadi suatu masyarakat yang mengarah pada bentuk uniformitas [menyeragamkan]. Usaha uniformitas melahirkan tuntu­tan rasa kedaerahan yang menonjol. Kondisi ini dapat dilihat dari semakin ramainya perde­batan tentang pentingnya putra daerah untuk diangkat menjadi pejabat. Usaha uniformitas yang dilakukan pemerintah telah membawa kontra produktif.

3.   Peluang Perubahan Menuju Masyarakat Madani
Pada era reformasi, masyarakat menuntut kembali kedaulatan rakyat yang telah hilang, karena "era reformasi menuntut perubahan total dalam kehidupan bangsa dan ma­syarakat untuk mewujudkan cita-cita "masyarakat madani Indonesia". Reformasi menuntut perubahan dalam semua aspek kehidupan khususnya bidang politik, pemerintahan, ekonomi dan budaya. Perubahan dalam bidang politik terutama diarahkan kepada hidupnya kembali kehidupan demokrasi yang sehat sesuai dengan tuntutan konstitusi 1945. Visi perubahan lebih ditekankan pada pendekatan kemanusiaan untuk menuju masyarakat madani atau civil society yang berkeadilan, berkeadaban dan mandiri di segala bidang dalam tatanan kehidupan yang harmonis.
Kenyataan kehidupan bangsa dan negara Indonesia sekarang, tanpaknya memang tidak mudah untuk mewujudkan masyarakat madani itu, jika corak budaya bangsa Indonesia masih berlangsung dengan warna seperti yang dilukiskan pada tantangan di atas. Karena untuk mewujudkan "masyarakat madani" di Indonesia tidak­lah semudah membalik telapak tangan, memerlukan proses panjang dan waktu serta menun­tut komitmen masing-masing warga bangsa untuk mereformasi diri secara total menuju terwujudnya masyarakat madani. "Diperlukan kerja keras dan niat lurus untuk merubah budaya masyarakat agar menjadi lebih demokratis, terbuka luas, dan bebas dari tekanan, agar jalan menuju masyarakat madani lebih terbuka luas". Selain itu, keharusan masyarakat untuk ikut mengambil peran dalam mewujudkan masyarakat berperadaban, masyarakat madani di Indonesia, karena terbentuknya masyara­kat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadi­lan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mewujudkan masyarakat madani, baik yang bersifat berjangka pendek maupun yang "berjangka panjang:
Pertama, peluang perubahan jangka pendek, menyangkut dengan perubahan pada pemerintahan, politik, ekonomi, hukum dan jurnalistik.  [1] Sesuai dengan tuntutan masyarakat pada era reformasi, agar terciptanya "pemerintahan bersih yang menjadi prasarat untuk tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani yang sehat.  Tumbuh dan berkembangnya masyar­akat madani, jelas akan menuntut ”performance” pemerintahan yang bersih, sebagai sebuah pemerintahan yang efesien dan efektif, bersih dan profesional",  berwibawa, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Tercipta pemrintahan yang dapat dipercaya [credible], dapat diterima [acceptable], dapat memimpin [capable], dan pemerintahan yang bersih [clean government].  [2] Bidang politik, adanya "upaya sadar pemerintah dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesepakatan maksimal dalam memberi makna sistem demokrasi, sehingga tercitanya tingkat keseimbangan relatif dan saling cek dalam hubungan kekuasaan eksekutif, legeslatif dan yudikatif", sehingga terwujudnya keberdayaan lembaga legislatif dalam melakukan fungsi-fungsi legislatif, pengawasan yang mencerminkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. "Dimensi demokrasi dari masyarakat adalah tercipta kesepakatan nilai untuk kesetaraan di depan hukum dan pemerin­tah, kesetaraan dalam kompetisi dan politik, kemandirian, dan kemampuan menyelesaikan berbagai konflik dengan cara-cara damai", yang mencerminkan ciri-ciri masyarakat madani. [3] Bidang ekonomi, menuntut pemerataan kehidupan ekonomi yang lebih merata dan bukan hanya untuk kepentingan sekelompok kecil anggota masyarakat. Ekonomi yang sulit, kelaparan, hanya terdapat pada sistem politik penindasan atau yang nondemokratis. [4] Bidang hukum, reformasi menuntut ketaatan kepada hukum untuk semua orang dan bukan hanya untuk kepentingan penguasa. Setiap orang sama di depan hukum dan dituntut kedisiplinan yang sama terhadap nilai-nilai hukum yang disepakati”.  Diharpkan terbentuknya lembaga pene­gak hukum yang mencerminkan berlakunya supermasi hukum dalam kehidupan bermasyara­kat, berbangsa dan bernegara menuju suatu tatanan masyarakat madani atau civil society Indonesia.  [5] Bidang jurnalistik, terciptanya kebebasan pers, yaitu berkembangnya media massa baik cetak maupun elektronik yang sanggup berfungsi mendidik dan mencer­daskan kehidupan bangsa serta melakukan fungsi kontrol secara bertanggungjawab dan menerapkan etika jurnalistik secara konsekuen.
Kedua, peluang perubahan jangka panjang pada bidang kebudayaan dan pendidi­kan. Reformasi budaya, yang menyangkut orientasi pemikiran, pola-pola perilaku, dan tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat luas yang perlu dikembangkan dalam rangka mendukung proses pelembagaan dan mekanisme kehidupan kenegaraan yang diideal­kan. Reformasi budaya menuntut perkembangan kebhinnekaan budaya Indonesia. Kebudayaan daerah merupakan dasar bagi perkembangan identitas bangsa Indonesia, oleh sebab itu harus dibina dan dikembangkan. Pengembangan budaya daerah akan memberikan sumbangan bagi perkembangan rasa kesatuan bangsa Indonesia yang menunjang ke arah identitas bangsa Indonesia yang kuat dan benar", yang mencerminkan masyarakat plural sebagai ciri masyarakat madani. Pengembangan sistem pendidikan, tekanan pada aspek kearifan budaya dan nilai-nilai lokal sebagai pijakan berbangsa, jangan sampai tercer­abut, karena identitas kebangsaan hanya bertahan jika sosialisasi nilai-nilai kebangsaan yang mengacu pada nilai-nilai kultural bangsa dilakukan melalui lembaga pendidikan.

E. Penutup
Sebagai penutup makalah ini, perlu disampaikan beberapa kesimpulan sebagai berikut : Pertama,  konsep civil society dan masyarakat madani adalah konsep yang sangat ideal, sehingga tidak ada satu kelompok masyarakat manapun yang sama dengan kedua konsep ini.  Kedua, kedua konsep [civil society dan masyarakat madani]  berakat dari sosial, budaya dan politik yang berebada. Civil society berakar dari konsep liberal Barat, yang ”tidak berdasar pada agama tertentu”, sedangkan masyarakat madani, berakar dari masyarakat Muslim Arab, yang berdasar pada agama. Ketiga,   apabila konsep ini akan diaktualisasikan di masyarakat Indonesia, diperlukan perubahan mendasar dan langkah-langkah kontinyu dan sistimatis yang dapat merubah paradigma, kebiasaan, dan pola hidup masyarakat Indonesia. Keempat, perlu melakukan perubahan dengan membangun infrastruktur sosial, budaya, ekonomi, hukum, pendidikan, dan politik untuk mendukung cita-cita mewujudkan civil society dan masyarakat madani Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Adeney, Bernard, 2000,  Civil Society dan Abrahamic Religions, UKDW, Yogyakarta, July, 2000.

Asshiddiqie, Jimly, 2002, Reformasi Menuju Indonesia Baru; Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembar­uan Hukum, dan Keberdayaan Masyarakat Madani, From: http://www.theceli.com/dok/ dokumen/ jurnal/  jimly/j014.htm.

Editoril, 2000, Menuju Masyarakat Madani, Jurnal Online, Badan Pekerja MPR RI Tahun 2000, Edisi No.:09, Tanggal 23 Mei 2000., Prom: http://mpr.wasantara.net.id/ bp_2000/ edisi9/editorial.htm., 31 Desember2001.

Farkan, H., 1999, Piagam Madinah dan Idealisme Masyarakat Madani, Bernas, 29 Maret 1999, Yogyakarta.

Hatta, Ahmad, 2001, Peradaban Yang Bagaimana? Rincian Misi Negara Tauhid Madinah, dalam Majalah Suara Hidaya­tullah:Juli 2001,From: http://www. hidayatullah. com/2001/07/ kajut3. shtml.,tgl.7 Juni 2001.

Hikam, Muhammad AS., 1996, Demokrasi dan Civil Soceity, LP3ES, Jakarta,

Ibrahim, Anwar, 1995,  Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani, Makalah Disampaikan dalam  Ferstival Istiqlal, 16 September 1995,  Jakarta.

Madjid, Nurchalis 1996, “Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, ULUMUL QUR'AN, Nomor: 2/VII/1996 - ISSN : 0215-9155, Jakarta.
-------,2000, Kedaulatan Rakyat: Prinsip Kemanusiaan dan Musyawarah dalam Masyarakat Madani, dalam: Widodo Usman, dkk., (Editor), Membongkar Mitos Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.
-------, 2001, Konstitusi Madinah, From. http://www.pgi.or.id/ balitbang/ bal_06/02_saa_ xvii/10.html.,  11 September 2001.

Mufid, 1999, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, dalam buku: Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3, Tim Editor Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Aditya Media, Yogyakarta.

Muhammad, Agus, 2002, Jalan Panjang Menuju “Civil Society”, Kompas Cyber Media, Jumat, 6 Juli 2001, From: http:/www.kompas.com/kompas-cetak/ 0107/06/ DIKBUD/ jala38.htm, akses, 10/1/2002.

Muzaffar, Chandra, 1998, "Pembinaan Masyarakat Madani: Model Malaysia", dalam Institusi Strategi Pemban­gunan Malaysia (MINDS), Masyarakat Madani: Suatu Tinjauan Awal, Ras Grafika, Kuala Lumpur.

Nordholt, N.S., 1999, Civil Society di Era Kegelisahan,  Basis, Np. 3-4, Maret 1999, Yogyakarta.

Raharjo, M. Dawam, 1999, Demokrasi, Agama dan Masyarakat Madani, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial UNISIA, No.39/ XXII/ III/ 1999-ISSN:0215-1412,UII, 1999, Yogyakarta.
-------,1999, “Masyarakat Madani di Indonesia, Sebuah Penjajakan Awal”, Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA, Vol.I,Nomor 2, ISSN; 1410-8410, 1999, Jakarta.

Sairin, Sjafri, 1999, Masyarakat Madani Dan Tantangan Budaya, dalam buku: Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3,  dalam: Taufik Abdullah, dkk., Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3, Tim Editor Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Aditya Media, Yogyakarta.

Santoso, Riyadi, 1999, Pemerintahan Yang Bersih dan Masyarakat Madani, Jurnal Cides Sintesis,No.2,Th.5.

Sufyanto, 2001, Masyarakat Tamaddun, Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurchalis Madjid, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.

Syarief, Hidayat, 1999, Paradigma Baru Pendidikan Membangun Masyarakat Madani,  REPUBLIKA, 30 Oktober 1999.

Tilaar, H.A.R., 1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Re­formasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.

Wahid, Abdurrahman, 2001, [Prediden Republik Indonesia], Pidato Presiden Republik Indonesia di depan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 7 Agustus 2000,  From: http://istana.ri.go.id/speech/ind/07 agustus00. htm, 4 Januari 2001.




Related Posts: