A. Pendahuluan
Indonesia, menurut Prof. Bernard Adeney, “sudah memiliki definisi yang cukup hebat tentang masyarakat baik atau civil atau “madani”, yaitu Pancasila. Menurutnya, pancasila muncul sebagai hasil dari musyawarah mufakat yang menyatakan semacam visi untuk civil society. Menurut Prof. Bernard Adeney, visi ini dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu : [1] Pancasila dimengerti sebagai persetujuan [mufakat], tentang apa yang menjadi landasan bangsa negara yang paling mendasar. “Yang paling dasar” dapat diterjemahkan sebagai yang paling minimal. Pancasila merupakan visi bangsa negara yang dapat disetujui oleh semua unsur masyarakat Indonesia, walaupun bukan visi paling sempurna kelompok-kelompok tertentu. [2] Pancasila diciptakan sebagai aturan main, yaitu sila-sila yang mangatur proses membangun bangsa negara yang diinginkan. Hal ini berarti bahwa struktur negara, hukum da kebijaksanaan pemerintah adalah seyogianya sesuai dengan Pancasila. Proses membangun negara yang jelas bertentangan dengan Pancasila seharusnya ditolak. [3] Pancasila juga dimengerti sebagai tujuan ideal bangsa negara Indonesia. Indonesia bertekad menjadi bangsa negara yang “pancasilais” walaupun tujuan ideal itu belum terwujud”.
Civil Society merupakan semacam konstruksi sosial simbolis yang tidak pernah terwujud secara riel atau nyata dalam masyarakat manapun. Tidak ada kenyataan yang dapat disebut Civil Society di dunia nyata. Hal ini juga sama dengan simbol masyarakat madani adalah suatu simbol tentang salah satu visi dari suatu masyarakat. Menurut Prof. Bernard Adeney, ada saudara Muslim yang menegaskan bahwa sudah pernah ada masyarakat madani, yaitu masyarakat Madinah. Namun, Madinah, telah lahir “ratusan tahun yang lalu bukan sama dengan Indonesia abada 21”. Apabila masyarakat Indonesia yang madani diusahakan, akan menjadi perbuatan yang kurang lebih baru di dunia ini dan tidak pernah sempurna.
Apakah civil society dan masyarakat madani dapat dilaksanakan atau diiaktualisasikan di masyarakat Indonesia. Jawaban sementara, apabila konsep ini akan diaktualisasikan di masyarakat Indonesia, diperlukan suatu perubahan mendasar dan langkah-langkah kontinyu sistimatis yang dapat merubah paradigma, kebiasaan, dan pola hidup masyarakat Indonesia. Walaupun di sisi lain Prof. Bernard, menyatakan bahwa “masyarakat madani” kurang cocok lagi untuk masyarakt Indonesia pada abad 21 ini. Kedua konsep ekstrim ini [yang liberal Barat dan yang Muslim Arab], kurang cocok di Indonesia dan kita harus mencari pengertian kedua konsep tersebut agar sesuai dengan sejarah dan konteks Indonesia. Menurut hemat pemakala, “karakteristk” atau ciri-ciri masyarakat madani dapat digunakan dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini, artinya dilakukan pembaruan. Maka apabila kita menginginkan untuk mewujudkan kedua konsep ini, tanpaknya masyarakat dan bangsa Indonesia harus disiapkan dan siap untuk “membangun infrastruktur sosial, budaya, ekonomi, agama dan politik untuk mendukung ciri-ciri atau karakteristik masyarakat madani dan civil society yang diharapkan”. Walaupun, “cita-cita civil society atau masyarakat madani yang dapat diterima oleh keseluruhan bangsa-negara Indonesia belum jelas”.
Dari pemikiran di atas, pembahasan lebih difokuskan pada “masyarakat madani”. Oleh karena itu, terlebih dahaulu sedikit menelususi akar sejarah, makna “civil society” dan "masyarakat madani", kemudian mencari perbedaan kedua konsep ini, membahas perubahan menuju masyarakat madani Indonesia dengan fokus pada tantangan, peluang, serta terebosan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia berperadaban.
B. Akar Sejarah, Makna Civil Society dan Masyarakat Madani
Sebagai konsep sosial yang lahir pada abad ke-18, civil society sangat terbuka terhadap perkembangan, pemaknaan dan penafsiran. Jika dilacak secara emperik istilah civil society merupakan terjemahan dari istilah Latin, civilis societas, yang mula-mula dicetuskan dan dipakai oleh Cocero [106-43 S.M] seorang filsuf, orator dan pujangga Roma - yang berkembang seiring dengan kemajuan pemikiran waktu itu. Pengertiannya mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Maka masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik [political society] yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup.
Pada mulanya civil society dipahami sebagai komunitas negara yang anggota-anggotanya adalah warga. Dalam konteks ini, civil society identik dengan negara. Hegel, termasuk yang membolehkan negara melakukan intervensi terhadap civil society. Karena, dengan kebebasan mengembangkan aspirasi dan kepentingan dari setiap warga, maka civil society dengan sendirinya butuh bantuan negara untuk melakukan pengaturan, lewat kontrol hukum, administrasi dan politik. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, civil society mengalami perkembangan makna sebagai entitas yang terpisah dari negara. Tokoh yang memulai adalah Thomas Pain [1792] yang memaknai civil society dalam posisi diametral dengan negara, bahkan civil society dinilai sebagai antitesis negara.
Wacana Civil society dan/atau “masyarakat madani” bukan merupakan konsep yang dengan mudah dapat diapresiasikan dalam konteks Indonesia. Bukan hanya karena karakter sosial, budaya, serta politik kita berbeda dengan tempat asal konsep ini lahir, tetapi secara teknis ”kebahasaan” juga sulit ditemukan padanan atau kesamaannya. Ada yang menerjemahkan sebagai “masyarakat sipil”, yang kemudian diperhadapkan dengan masyarakat militer. Ada yang menerjemahkan sebagai “masyarakat madani” dengan merujuk pada ideal type masyarakat Islam di Madinah pada masa-masa awal kedatangan Islam. Padahal civil society merujuk pada sebuah masyarakat yang ada dalam suatu Negara yang disebut nation-state [Negara bangsa], bukan Negara yang didasarkan pada agama maupun Negara yang didasarkan pada suku [tribal-state]. Kemudian ada juga yang menerjemahkan sebagai masyarakat warga atau masyarakat kewargaan. Tanpaknya, terjemahan terakhir inilah yang agaknya lebih dekata dengan substansi civil society. Tetapi masih ada juga kelompok lain yang enggan menerjemahkan istilah ini sehingga tetap menggunakan istilah civil society, karena kemungkinan sulit dicari padanannya dalam konteks bahasa Indonesia.
Tampaknya dari pandangan di atas, kita mengalami kesulitan dalam mencari padanan kata ”civil society” dalam bahasa Indonesia, sehingga kata ini diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu ”masyarakat sipil”, ”masyarakat madani”, ”masyarakat warga” atau ”masyarakat kewargaan”. Prof. Bernard Adeney, mengatakan bahwa makna civil society tidak ada satu kata dalam bahasa Indonesia yang cocok untuk menerjemahkan kata bahasa Inggris “civil”. Juga dalam bahasa Inggris sendiri-pun mempunyai banyak makna yang berbeda, tetapi mempunyai banyak nuansa lain. Konsep ini sangat kaya dan sekaligus agak kabur.
Prof. Bernard Adeney mencoba mengemukakan tiga makna dari kata civil, yang paling cocok dengan istilah civil society, yaitu : Pertama, Civil dapat berarti ”civilized” atau beradab. Civil Society bearti masyarakat beradab atau madani, walaupun maknanya kurang jelas. Tetapi dalam bahasa Inggris, paling sedikit, civil berarti hubungan diantara masyarakat yang sopan, halus dan toleran terhadap satu sama lain. Menurutnya, ini adalah makna civil yang minimal dan bukan maksimal. Artinya, civil tidak bermaksud mencintai, gotong royong, bersaudara, kerja bahu-membahu atau bahkan simpatik. Civil hanya berarti sopan, toleran, tidak kasar. Kedua, Civil – berarti seorang, kelompok,lembaga atau instansi yang ”bukan negara” [state]. Biasanya pengertian ini lebih ditekankan adalah lembaga dan institusi yang diciptakan masyarakat sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Konsep ini lebih terfokus pada pemisahan kekuasaan [separation of power], yaitu pemerintah tidak boleh menguasai atau mengendalikan perkumpulan masyarakat kecuali ketika kebaikan umum [common good] terancam. Maka lembaga masyarakat seperti LSM atau lembaga pendidikan, atau lembaga agama seharusnya bebas untuk mengatur diri sendiri, selama mereka tidak melanggar hukum atau mengganggu kelompok lain. Lembaga-lembaga LSM, tokoh-tokoh universitas, wartawan-wartawan dan pemimpin-pemimpin agama. Ketiga, civil - berarti ”bukan militer”. Seorang ”civilian” adalah yang bukan militer. Dari makna ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat civil [sipil] adalah masyarakat yang terpisah dari militer dan tidak termasuk militer. Militer tidak boleh campur tangan dengan kehidupan masyarakat sipil. Dalam hal ini, tidak hanya ada civil society tetapi juga civil government [pemerintahan sipil]. Pemerintah sipil tidak dikuasai oleh militer dan tidak boleh memerintah atau mengendalikan masyarakat melalui militer.
Dari ketiga makna di atas, dapat disimpulkan bahwa ”civil society sebagai masyarakat yang sopan dan toleran terhadap satu sama lain, yang mampu mengatur diri sendiri melalui perbagai lembaga, tanpa campur tangan pemerintah, dan yang bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan militer. Definisi seperti ini bersifat ideal dan minimal. Ideal dalam arti belum pernah ada masyarakat seperti ini terwujud secara sempurna dan masyarakat Indonesia masih agak jauh dari gambaran defenisi ini” atau protitype masyarakat ini. Begitu juga ”masyarakat madani” yang merupakan kata lain dari civil society. Kata ini sering disebut sejak kekuatan otoriter Orde Baru tumbang selang satu tahun. Malah cenderung terjadi sakralisasi pada kata itu seolah-oleh implementasinya mampu memberi jalan keluar untuk masalah yang tengah dihadapi bangsa Indonesia.
Identifikasi protitype civil society dan masyarakat madani semacam ini sebetulnya dapat dipahami dan ideal untuk suatu masyarakat, meski mungkin masih dapat diperdebatkan. Pada masa Orde Baru hampir-hampir tidak ada organisasi yang terbebas dari kooptasi kekuasaan pemerintahan. Katakan saja, organisasi-organisasi dengan massa dan keanggotaan yang luas biasa besar, seperti NU dan Muhammadiyah tidak sepenuhnya dapat dianggap mandiri, otonom, dan steril dari intervensi Negara. Hal ini bukan berarti organisasi itu tidak mampu bersikap ”independent” dan ”otonom”, tetapi negara dan atau pemerintahan versi Orde Baru merupakan Negara yang mengurusi hampis segala hal atau segala aspek kehidupan, bahkan sampai pada hal yang sifatnya paling pribadi seperti dalam kasus KB, diatur oleh negara. Dari kondisi ini dapat dipahami bahwa civil society tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam kekuasaan Orde Baru.
Berbicara tentang wacana dan gagasan "masyarakat madani" yang berkembang di Indonesia merupakan terjemahan dari civil society?, tetapi masih dipertanyakan, apakah sama antara istilah "masyarakat madani" dengan istilah civil society. Berbagai "pemikiran yang dilontarkan seputar civil society, yang di Indonesia telah diterjemahkan menjadi "masyarakat sipil" atau "masyarakat madani". Padahal kita tahu, bahwa sebenarnya istilah ini merupakan imbas dari perkembangan pemikiran yang terjadi di dunia Barat, khususnya di negara-negara industri maju di Eropa Barat dan Amerika, dalam perhatian mereka terhadap perkembangan ekonomi, politik, sosial-budaya. Sedangkan masyarakat madani lahir dari ”masyarakat Muslim Arab” yang juga memiliki akar budaya yang berbeda dan masyarakat di Madinah berdasarkan syariat Islam. Tentu saja kedua konsep ini secara sosial, budaya dan politik berbeda dengan sosial-budaya dan politik masayarakat dan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Tetapi tidak menutup kemungkinan, menurut Prof. Bernard Adeney, bahwa ”masyarakat madani merupakan konsep yang lebih cocok untuk Indonesia, atau untuk sebagian dari masyarakat Indonesia, dari pada konsep civil society”. Kenapa, karena secara sosio-relegius ada kesamaan pandangan dan pemahaman dengan sebagian besar masyarakat Indonesia, bila dibandingkan dengan konsep civil society yang berasal dari pemikiran liberal Barat.
Istilah masyarakat madani, pertama kali dipopulerkan oleh Muhammad an-Naquib al-Attas, yaitu 'Mujtama' madani atau masyarakat kota. Istilah ini secara etimologi mempunyai dua arti, yaitu : [1] "Masyarakat kota. Ini berarti madani adalah derivat dari kata bahasa Arab, ”Madinah” yang berarti kota. [2] Masyarakat yang berperadaban, karena madani adalah juga merupakan derivat dari kata Arab tamaddun atau madaniah yang berarti ”peradaban”, dengan demikian masyarakat madani adalah ”masyarakat yang beradab”. Peradaban dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civility atau civilization. Dari pengertian ini kemudian istilah masyarakat madani disamakan dengan civil society, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
Di Indonesia, Istilah masyarakat madani pertamakali dibawa dan dipopulerkan Dato Seri Anwar Ibrahim, pada saat menghadiri Fertival Istiqlal di Jakarta. Istilah "masyarakat madani" menurutnya sebagai terjemahan "civil society". Namun istilah masyarakat madani, tidak identik dengan civil society. Walaupun ada kesamaan konsep tentang masyarakat beradab, sopan, toleran, dan sebagainya, tetapi masyarakat madani di Madinah dibangun berdasarkan syariat Islam. Ini menunjukkan letak perbedaan anatara konsep masyarakat madani dan civil society. Maka dalam memperkenalkan pengertian masyarakat madani di Indonesia, Nurcholis Madjid mengacu pada konsep "negara kota Madinah" yang dibangun Nabi Muhammad saw pada 622 M, dengan syariat Islam. Istilah masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamaddun [masyarakat berperadaban] yang diperkenalkan Ibn Khaldun dan konsep al-madinah al-fadhilah [negara utama] yang dikemukakan filsof Al-Farabi pada abad pertengahan.
Nurchalis Madjid, mengatakan perkataan Arab "Madinah" artinya kota, dan secara etimologis berarti "tempat peradaban". Menurutnya, pengertian Madinah mirip atau padanan perkataan Yunani "polis" [seperti dalam nama kota "Constantinopel], dan "Madinah" dalam pengertiannya sama dengan "hadharah" dan "isaqarah", yang masing-masing sering diterjemahkan "peradaban" dan "kebudayaan". Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti "pola kehidupan menetap" sebagai lawan "badawah" yang berarti pola kehidupan mengembara, "nomad". Maka perkataan "madinah", dalam peristilah modern, menunjuk kepada semangat dan pengertian "civil society", istilah Inggris yang berarti "masyarakat sopan, beradab dan teratur" dalam bentuk negara yang baik.
Dari sini, dapat dikatakan bahwa konsep "masyarakat madani" adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kedasaran umum untuk patuh pada peraturan atau hukum. Dengan demikian, variabel utama masyarakat madani adalah masyarakat beradab, sopan, teratur, memiliki kemandirian [otonomi], kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat serta kesempatan yang sama dalam mempertahankan kepentingan di depan umum. Jadi konsep masyarakat berperadaban dalam masyarakat madani adalah masyarakat yang berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan, masyarakat yang bercirikan kebebasan dan demokrasi dalam berinteraksi di dalam masyarakat yang plural.
Dari paparan di atas, dapat kita lihat perbedaan yang tampak jelas adalah civil society tidak mengaitkan prinsip tatanan pada agama tertentu, sedangkan masyarakat madani [al-madaniy] jelas mengacu pada agama Islam. Konsep masyarakat madani adalah bangunan politik yang demokratis, menghormati dan menghargai publik seperti: kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lain sebagainya yang didasarkan pada syariat Islam. Hal inilah yang mungkin dikhawatirkan oleh sebagian masyarakat no-muslim apabila konsep masyarakat madani diujudkan di Indonesia. Kekhawatiran itu tidak perlu muncul, apabila konsep masyarakat madani difahami sebagai masyarakat yang berperadaban, beradab, masyarakat sipil, menghargai perbedaab agama dan menghargai pluralistik. Tuntutan masyarakat madani yang diharapkan kaum reformis adalah "masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar", masyarakat yang "jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak kepada yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia", dapat diujudkan di masyarakat Indonesia yang plural.
Melihat konsep masyarakat madani sebagai masyarakat yang beradab, sopan dan teratur apakah dapat diujudkan di Indonesia. Kelihatannya masyarakat Indonesia mengalami kendala untuk menerapkan konsep civil society dan masyarakat madani, sebab setelah rezim Orde Baru tumbang dan dimulai dengan ”era reformasi” yang menggiring masyarakat Indonesia ke-euforia domokrasi yang berdampak pada “euforia kebebasan” yang nyaris “kebablasan”. Indikasinya, masyarakat bertindak bebas dan anarkis, masyarakat main hakim sendiri, pembunuhan dan pemerkosaan merupakan hal yang biasa, kekerasan terjadi dimana-mana, konflik bernuansa SARA yang terjadi Maluku [Ambon], Maluku Utara dan Poso, tindak kekerasan terhadap aliran agama tertentu [Ahmadiyah], peristiwa tragis berdarah di depan Universitas Cendrawasi Abepura Papua yang bersifat anarkis dan “kebablasan” sehingga menelan korban jiwa, dan peristiwa kekerasan lain yang terjadi di masyarakat Indonesia. Itulah realitas kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini. Menurut Prof. Bernard Adeney, perilaku semacam ini, dikatakan “kurang civil, bahkan dapat dikatakan “uncivil society [masyarakat biadab]”. Dengan realitas ini, mungkinkah kita akan mengatakan bahwa masyarakat Indonesia masih jauh dari protetype civil society dan “masyarakat madani” atau yang selalu disebut dengan istilah “Indonesia Baru”.
Dengan mengetahui akar sejarah dan makna civil society dan masyarakat madani sebagai masyarakat yang beradab, berperadaban, masyarakat sipil, masyarakat yang sopan, teratur dan pluralistik, maka perlu untuk mengkaji karakteristik masyarakat madani sebagai upaya untuk melakukan pembaruan sosio-kultural masyarakat Indonesia, walaupun akan melalui jalan yang panjang sekali.
C. Karakteristik Masyarakat Madani
Dari gambaran "masyarakat madani" dari para ahli tersebut, timbul pertanyaan protetype apakah yang menjadi karakteristik masyarakat tersebut. Secara umum dapat disimpulan, bahwa karakteristik "masyarakat madani" adalah masyarakat kota, masyarakat yang berperadaban, masyarakat yang dapat menciptakan peradaban, masyarakat yang memiliki pola kehidupan yang benar yaitu pola kehidupan masyarakat yang menetap dan bukan masyarakat nomaden. Masyarakat terbuka, pluralistik, menjamin kebebasan beragama, jujur, adil, kemandirian, harmonis, menjamin kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia. Pelaku sosial akan selalu berpegang teguh pada peradaban dan kemanusian, yang selalu bercirikan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang plural dan heterogen.
Katakan saja, masyarakat madani yang akan diwujudkan antara lain memiliki karakteristik sebagai berikut : [1] Masyarakat beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki pemahaman mendalam akan agama serta hidup berdampingan dan saling menghargai perbedaan agama masing-masing. [2] Masyarakat demokratis dan beradab yang menghargai adanya perbedaan pendapat. Memberi tempat dan penghargaan perbedaan pendapat serta mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu, kelompok dan golongan. [3] Masyarakat yang menghargai hak-hak asasi manusia, mulai dari hak untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul, berserikat, hak atas kehidupan yang layak, hak memilih agama, hak atas pendidikan dan pengajaran, serta hak untuk memperoleh pelayanan dan perlindungan hukum yang adil. [4] Masyarakat tertib dan sadar hukum yang direfleksikan dari adanya budaya malu apabila melanggar hukum, dan [5] Masyarakat yang kreatif, mandiri dan percaya diri. Memiliki orientasi kuat pada penguasaan ilmu pengatahuan dan teknologi. [6] Masyarakat yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat kemanusiaan universal [pluralistik]. Karakteristik yang dikemukakan ini sangat ideal, perlu upaya untuk membangun infrastruktur sosial, budaya, ekonomi, politik dan pendidikan. Upaya untuk mengeliminir dan mengatasi berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di negeri ini, sehingga dapat mewujudkan cita-cita masyarakat madani Indonesia.
Karakteristik masyarakat madani merupakan ciri yang sangat idial, sehingga mengesankan seolah-olah tak ada masyarakat seideal itu. Kalau ada, hanya masyarakat muslim yang langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw yang relatif memenuhi syarat tersebut. Muncul kesan seolah-olah tak ada masyarakat seideal masyarakat madinah. Memang hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam sabdanya, "tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat atau sebaik-baik masa adalah masaku" [ahsanul qurun qarni]. Terlepas dari status sahih dan tidaknya sabda ini, ataupun siapa pun periwayatnya. Diakui bahwa masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad Saw sebagai masyarakat terbaik dan berperadaban, karena masyarakat Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad Saw merupakan prototype masyarakat idial. Dalam wacana ini, orang cenderung menyamakan konsep masyarakat madani dengan civil society, karena sama-sama membangun peradaban manusia.
Nurchalis Madjid, menyatakan bahwa "masyarakat madani" yang dibangun Rasul di Madinah dengan azas yang tertuang dalam "Piagam Madinah", memiliki 6 [enam] ciri utama, yaitu : [1] egalitarianisme, [2] penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi [bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya], [3] keterbukaan [partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif], [4] penegakan hukum dan keadilan, [5] toleransi dan pluralisme serta [6] musyawarah. Mungkin saja, ke-enam karakteristik ini dapat dilaksanakan atau diujudkan dalam masyarakat Indonesia, asalkan masyarakat Indonesia siap merubah semua aspek kehidupan.
Dari uraian di atas, jelas konsep civil soceity berasal dan muncul dari pandangan pemikir-pemikir Barat, kemudian konsep ini diakomudasikan dalam wacana pemikiran Islam. Padahal Islam sendiri telah memiliki konsep yang jelas dan gamblang dalam asas dan perinciannya tentang masyarakat ideal yang wajib diwujudkan kaum muslimin. Masyarakat tersebut adalah masyarakat yang di dalamnya dapat merealisasikan nilai-nilai khas yang terpancar dari aqidah. Dari aqidah tersebut, memancarkan apa yang disebut dengan egaliter, pluralisme, toleransi, demokrasi.
Nurchalis Madjid, "berusaha menawarkan persepsi yang sama antara masyarakat madani dalam suatu bentuk yang disebut "Ijtihad kontemporer" sebagai alternatif ideal masyarakat masa depan Indonesia dengan protetype masyarakat Rasul di Madinah. Ide Nurchalis Madjid ini, dikiritik oleh pemikir-pemikir Islam lainnya di Indonesia, dikatakan bahwa Nurchalis Madjid, telah melakukan suatu penganalog yang sangat tidak adil dan tidak beralasan karena hanya melihat masyarakat madani dari segi kemajemukan semata tanpa mengaitkan dengan sistem khas yang telah mengatur tatanan masyarakat Madinah tersebut sedemikian rupa, sehingga dipertanyakan apakah konsep Nurchalis Madjid itu lebih dekat kepada masyarakat Islam di Madinah atau jangan-jangan lebih mirip dengan masyarakat di Barat liberal. Padahal negara dan masyarakat Madani yang dibangun Nabi Muhammad Saw adalah negara dan masyarakat yang "kuat" dan "solid" dengan nilai-nilai khas yang terpancar dari keyakinan aqidah Islamiyah. Negara yang dibangun di atas masyarakat yang bersatu tidak hanya karena kepentingan yang sama yang menjadi sebab terbentuknya mayoritas negara modern, tetapi terbentuk karena memiliki perpektif yang sama, perasaan yang sama dan misi yang sama dalam membangun suatu masyarakat. Maka atas dasar persamaan ini menjadikan seluruh perbedaan yang ada seperti perbedaan suku, warna, ekonomi dan sebagainya hanya menjadi keberagaman dan kekayaan bukan sebab perpecahan.
Terlepas dari perdebatan tersebut di atas, karakteristik dan ciri masyarakat madani yang dikemukakan adalah sangat ideal. Cleary and Watson dalam Antonio Rosmini [1986:vii], menyatakan bahwa masyarakat madani atau civil soceity adalah "organisasi manusia yang sempurna, sebagai konsekuensi perkembangan hidup dan kuantitasnya, dan manakala bakat-bakat alamiah yang ia miliki saling bersinggungan dan bergesekan. Banyak pemikir yang menyatakan, bahwa untuk membangun masyarakat madani diperlukan tingkat pendidikan yang memadai dan berkualitas, ekonomi yang memadai, suasana dan kesadaran politik yang kondusip, demokrasi, hukum yang kondusip serta mendukung, dan jaminan keamana sebagai prasyarat untuk membangun masyarakat madani. Selain itu, masyarakat madani dengan karakteristik tersebut hanya dapat diwujudkan melalui pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan peran pendidikan untuk membangun masyarakat tersebut.
D. Proses Perubahan Menuju Masyarakat Madani di Indonesia
Proses perubahan menuju masyarakat madani sangat terkait dengan kehidupan politik bangsa, budaya, pendidikan, berpikir kritis, hukum, keadilan, keterbukaan, kemajemukan atau pluralisme serta perlindungan terhadap kaum minoritas. Dalam masyarakat madani tercipta "keseimbangan antara kebebasan individu dan kestabilan masyarakat. Inisiatif individu dalam bidang pemikiran, seni, ekonomi, teknologi, dan pelaksanaan pemerintahan yang mengikuti undang-undang dan hukum yang berlaku dengan baik". Tercipta "kemandirian individu, keluarga, lembaga-lembaga sosial lainnya seperti media massa, betul-betul dihargai tanpa ada pengaruh langsung dari negara atau pemerintah", dan "masyarakat yang dapat mengembangkan sumberdayanya tanpa harus dikontrol oleh negara secara ketat, dan keadilan sosial berjalan sebagaimana mestinya".
Masyarakat Indonesia sedang berada dalam masa transformasi, era reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupannya menuju kehidupan masyarakat madani. Muncul tuntutan untuk mewujudkan pemerintahan bersih, pada satu sisi dan cita-cita mewujudkan masyarakat madani [civil society], nampaknya tidak boleh ditawar-tawar lagi. Proses untuk menuju dan mewujudkan masyarakat madani tentu tidak mudah, karena diperlukan beberapa persyaratan untuk mengimplemtasikan konsep tersebut, tantangan yang dihadapi, serta peluang melakukan perubahan menuju masyarakat madani yang dicita-citakan, yaitu :
1. Persyaratan Menuju Masyarakat Madani
Sebagai sebuah gagasan tentang sistem kehidupan masyarakat madani, tentu tidak mudah untuk dicapai begitu saja. Dibutuhkan beberapa persyaratan agar gagasan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik. Beberapa persyaratan yang diperlukan untuk mewujudkan masyarakat madani, yaitu : Pertma, pemahaman yang sama [One Standard], Kedua, adanya keyakinan [Confidence] dan saling percaya [Social Trust], Ketiga, satu kesatuan atau satu hati dan saling tergantung, Keempat, perlu adanya kesamaan pandangan tentang tujuan dan misi, menuju masyarakat madani.
Jika keempat persyaratan di atas dapat dipenuhi, maka relatif akan lebih mudah untuk merumuskan berbagai kebijakan dan strategi untuk mewujudkan masyarakat madani yang dicita-citakan. Maka, kunci utama dari keberhasil mewujudkan masyarakat madani yang dicita-citakan itu, secara kultural antara lain terletak pada prasyarat-prasyarat yang disebutkan di atas. Kemudian selain keempat persyaratan tersebut, yang harus diperhatikan adalah tantangan yang hadapi dewasa ini untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan.
2. Tantangan Menuju Masyarakat Madani
Untuk mewujudkan masyarakat madani di Indonesia dengan ciri serta persyaratan yang dikemukakan tentu bukan merupakan hal yang mudah. Diperlukan upaya, kerja keras dan daya tahan yang tinggi untuk mengatasi berbagai kendala dan tantangan yang hadir, baik kendala yang berhubungan dengan struktur sosial, maupun kendala yang berkaitan dengan keadaan masyarakat Indonesia yang pada saat ini sedang mengalami berbagai guncangan" sepeti krisis moneter, tuntutan pemerintahan yang demokrasi, bersih serta berwibawa. Konflik antara masyarakat dibeberapa daerah yang mengarah kepada disintegrasi bangsa. Secara umum ada dua kendala yang dihadapi dalam mewujudkan masyarakat madani, yaitu kendala yang bersifat struktural maupun kultural.
Pertama, secara struktural dominasi negara dan birokrasi kekuasaan masih sangat kuat, sehingga wilayah masyarakat madani terdesak. Kondisi ini sebagai akibat dari budaya politik yang ditinggalkan Orde Baru, karena selama Orde Baru telah tercipta suatu kehidupan bangsa yang tidak sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Pemerintahan Orde Baru yang represif telah menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang tertekan, tidak kritis, manusia yang bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan sekelompok kecil rakyat Indonesia. Masyarakat Indonesia selama 32 tahun telah terkooptasi dengan budaya politik pemerintah Orde Baru. Kehidupan "demokrasi telah dipasung sehingga tidak ada kebebasan berpendapat apalagi berbeda pendapat. Pikiran manusia diarahkan kepada hanya ada satu kebenaran yaitu untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada".
Kedua, secara kultural, warga masyarakat masih terperangkap dalam mentalitas dan budaya paternalistik. Orientasi dan ketergantungan pada pemimpin dan penguasa masih tinggi, membuat kemandirian kurang berkembang. Tantangan sosial budaya yang cukup berat adalah pluralitas masyarakat Indonesia. Pluralitas tidak hanya berkitan dengan budaya saja, tetapi juga persoalan sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Bangsa Indonesia telah lama merdeka, tetapi pluralitas masyarakat itu kurang dimanfaatkan sebagai potensi yang didinamisasikan untuk memacu pembangunan. Kebijakan politik pembangunan selama ini justru berkesan menjadikan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadi suatu masyarakat yang mengarah pada bentuk uniformitas [menyeragamkan]. Usaha uniformitas melahirkan tuntutan rasa kedaerahan yang menonjol. Kondisi ini dapat dilihat dari semakin ramainya perdebatan tentang pentingnya putra daerah untuk diangkat menjadi pejabat. Usaha uniformitas yang dilakukan pemerintah telah membawa kontra produktif.
3. Peluang Perubahan Menuju Masyarakat Madani
Pada era reformasi, masyarakat menuntut kembali kedaulatan rakyat yang telah hilang, karena "era reformasi menuntut perubahan total dalam kehidupan bangsa dan masyarakat untuk mewujudkan cita-cita "masyarakat madani Indonesia". Reformasi menuntut perubahan dalam semua aspek kehidupan khususnya bidang politik, pemerintahan, ekonomi dan budaya. Perubahan dalam bidang politik terutama diarahkan kepada hidupnya kembali kehidupan demokrasi yang sehat sesuai dengan tuntutan konstitusi 1945. Visi perubahan lebih ditekankan pada pendekatan kemanusiaan untuk menuju masyarakat madani atau civil society yang berkeadilan, berkeadaban dan mandiri di segala bidang dalam tatanan kehidupan yang harmonis.
Kenyataan kehidupan bangsa dan negara Indonesia sekarang, tanpaknya memang tidak mudah untuk mewujudkan masyarakat madani itu, jika corak budaya bangsa Indonesia masih berlangsung dengan warna seperti yang dilukiskan pada tantangan di atas. Karena untuk mewujudkan "masyarakat madani" di Indonesia tidaklah semudah membalik telapak tangan, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa untuk mereformasi diri secara total menuju terwujudnya masyarakat madani. "Diperlukan kerja keras dan niat lurus untuk merubah budaya masyarakat agar menjadi lebih demokratis, terbuka luas, dan bebas dari tekanan, agar jalan menuju masyarakat madani lebih terbuka luas". Selain itu, keharusan masyarakat untuk ikut mengambil peran dalam mewujudkan masyarakat berperadaban, masyarakat madani di Indonesia, karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mewujudkan masyarakat madani, baik yang bersifat berjangka pendek maupun yang "berjangka panjang:
Pertama, peluang perubahan jangka pendek, menyangkut dengan perubahan pada pemerintahan, politik, ekonomi, hukum dan jurnalistik. [1] Sesuai dengan tuntutan masyarakat pada era reformasi, agar terciptanya "pemerintahan bersih yang menjadi prasarat untuk tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani yang sehat. Tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani, jelas akan menuntut ”performance” pemerintahan yang bersih, sebagai sebuah pemerintahan yang efesien dan efektif, bersih dan profesional", berwibawa, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Tercipta pemrintahan yang dapat dipercaya [credible], dapat diterima [acceptable], dapat memimpin [capable], dan pemerintahan yang bersih [clean government]. [2] Bidang politik, adanya "upaya sadar pemerintah dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesepakatan maksimal dalam memberi makna sistem demokrasi, sehingga tercitanya tingkat keseimbangan relatif dan saling cek dalam hubungan kekuasaan eksekutif, legeslatif dan yudikatif", sehingga terwujudnya keberdayaan lembaga legislatif dalam melakukan fungsi-fungsi legislatif, pengawasan yang mencerminkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. "Dimensi demokrasi dari masyarakat adalah tercipta kesepakatan nilai untuk kesetaraan di depan hukum dan pemerintah, kesetaraan dalam kompetisi dan politik, kemandirian, dan kemampuan menyelesaikan berbagai konflik dengan cara-cara damai", yang mencerminkan ciri-ciri masyarakat madani. [3] Bidang ekonomi, menuntut pemerataan kehidupan ekonomi yang lebih merata dan bukan hanya untuk kepentingan sekelompok kecil anggota masyarakat. Ekonomi yang sulit, kelaparan, hanya terdapat pada sistem politik penindasan atau yang nondemokratis. [4] Bidang hukum, reformasi menuntut ketaatan kepada hukum untuk semua orang dan bukan hanya untuk kepentingan penguasa. Setiap orang sama di depan hukum dan dituntut kedisiplinan yang sama terhadap nilai-nilai hukum yang disepakati”. Diharpkan terbentuknya lembaga penegak hukum yang mencerminkan berlakunya supermasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menuju suatu tatanan masyarakat madani atau civil society Indonesia. [5] Bidang jurnalistik, terciptanya kebebasan pers, yaitu berkembangnya media massa baik cetak maupun elektronik yang sanggup berfungsi mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta melakukan fungsi kontrol secara bertanggungjawab dan menerapkan etika jurnalistik secara konsekuen.
Kedua, peluang perubahan jangka panjang pada bidang kebudayaan dan pendidikan. Reformasi budaya, yang menyangkut orientasi pemikiran, pola-pola perilaku, dan tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat luas yang perlu dikembangkan dalam rangka mendukung proses pelembagaan dan mekanisme kehidupan kenegaraan yang diidealkan. Reformasi budaya menuntut perkembangan kebhinnekaan budaya Indonesia. Kebudayaan daerah merupakan dasar bagi perkembangan identitas bangsa Indonesia, oleh sebab itu harus dibina dan dikembangkan. Pengembangan budaya daerah akan memberikan sumbangan bagi perkembangan rasa kesatuan bangsa Indonesia yang menunjang ke arah identitas bangsa Indonesia yang kuat dan benar", yang mencerminkan masyarakat plural sebagai ciri masyarakat madani. Pengembangan sistem pendidikan, tekanan pada aspek kearifan budaya dan nilai-nilai lokal sebagai pijakan berbangsa, jangan sampai tercerabut, karena identitas kebangsaan hanya bertahan jika sosialisasi nilai-nilai kebangsaan yang mengacu pada nilai-nilai kultural bangsa dilakukan melalui lembaga pendidikan.
E. Penutup
Sebagai penutup makalah ini, perlu disampaikan beberapa kesimpulan sebagai berikut : Pertama, konsep civil society dan masyarakat madani adalah konsep yang sangat ideal, sehingga tidak ada satu kelompok masyarakat manapun yang sama dengan kedua konsep ini. Kedua, kedua konsep [civil society dan masyarakat madani] berakat dari sosial, budaya dan politik yang berebada. Civil society berakar dari konsep liberal Barat, yang ”tidak berdasar pada agama tertentu”, sedangkan masyarakat madani, berakar dari masyarakat Muslim Arab, yang berdasar pada agama. Ketiga, apabila konsep ini akan diaktualisasikan di masyarakat Indonesia, diperlukan perubahan mendasar dan langkah-langkah kontinyu dan sistimatis yang dapat merubah paradigma, kebiasaan, dan pola hidup masyarakat Indonesia. Keempat, perlu melakukan perubahan dengan membangun infrastruktur sosial, budaya, ekonomi, hukum, pendidikan, dan politik untuk mendukung cita-cita mewujudkan civil society dan masyarakat madani Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adeney, Bernard, 2000, Civil Society dan Abrahamic Religions, UKDW, Yogyakarta, July, 2000.
Asshiddiqie, Jimly, 2002, Reformasi Menuju Indonesia Baru; Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembaruan Hukum, dan Keberdayaan Masyarakat Madani, From: http://www.theceli.com/dok/ dokumen/ jurnal/ jimly/j014.htm.
Editoril, 2000, Menuju Masyarakat Madani, Jurnal Online, Badan Pekerja MPR RI Tahun 2000, Edisi No.:09, Tanggal 23 Mei 2000., Prom: http://mpr.wasantara.net.id/ bp_2000/ edisi9/editorial.htm., 31 Desember2001.
Farkan, H., 1999, Piagam Madinah dan Idealisme Masyarakat Madani, Bernas, 29 Maret 1999, Yogyakarta.
Hatta, Ahmad, 2001, Peradaban Yang Bagaimana? Rincian Misi Negara Tauhid Madinah, dalam Majalah Suara Hidayatullah:Juli 2001,From: http://www. hidayatullah. com/2001/07/ kajut3. shtml.,tgl.7 Juni 2001.
Hikam, Muhammad AS., 1996, Demokrasi dan Civil Soceity, LP3ES, Jakarta,
Ibrahim, Anwar, 1995, Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani, Makalah Disampaikan dalam Ferstival Istiqlal, 16 September 1995, Jakarta.
Madjid, Nurchalis 1996, “Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, ULUMUL QUR'AN, Nomor: 2/VII/1996 - ISSN : 0215-9155, Jakarta.
-------,2000, Kedaulatan Rakyat: Prinsip Kemanusiaan dan Musyawarah dalam Masyarakat Madani, dalam: Widodo Usman, dkk., (Editor), Membongkar Mitos Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.
-------, 2001, Konstitusi Madinah, From. http://www.pgi.or.id/ balitbang/ bal_06/02_saa_ xvii/10.html., 11 September 2001.
Mufid, 1999, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, dalam buku: Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3, Tim Editor Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Aditya Media, Yogyakarta.
Muhammad, Agus, 2002, Jalan Panjang Menuju “Civil Society”, Kompas Cyber Media, Jumat, 6 Juli 2001, From: http:/www.kompas.com/kompas-cetak/ 0107/06/ DIKBUD/ jala38.htm, akses, 10/1/2002.
Muzaffar, Chandra, 1998, "Pembinaan Masyarakat Madani: Model Malaysia", dalam Institusi Strategi Pembangunan Malaysia (MINDS), Masyarakat Madani: Suatu Tinjauan Awal, Ras Grafika, Kuala Lumpur.
Nordholt, N.S., 1999, Civil Society di Era Kegelisahan, Basis, Np. 3-4, Maret 1999, Yogyakarta.
Raharjo, M. Dawam, 1999, Demokrasi, Agama dan Masyarakat Madani, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial UNISIA, No.39/ XXII/ III/ 1999-ISSN:0215-1412,UII, 1999, Yogyakarta.
-------,1999, “Masyarakat Madani di Indonesia, Sebuah Penjajakan Awal”, Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA, Vol.I,Nomor 2, ISSN; 1410-8410, 1999, Jakarta.
Sairin, Sjafri, 1999, Masyarakat Madani Dan Tantangan Budaya, dalam buku: Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3, dalam: Taufik Abdullah, dkk., Membangun Masyarakat Madani, Menuju Indonesia Baru Milenium Ke-3, Tim Editor Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Aditya Media, Yogyakarta.
Santoso, Riyadi, 1999, Pemerintahan Yang Bersih dan Masyarakat Madani, Jurnal Cides Sintesis,No.2,Th.5.
Sufyanto, 2001, Masyarakat Tamaddun, Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurchalis Madjid, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.
Syarief, Hidayat, 1999, Paradigma Baru Pendidikan Membangun Masyarakat Madani, REPUBLIKA, 30 Oktober 1999.
Tilaar, H.A.R., 1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.
Wahid, Abdurrahman, 2001, [Prediden Republik Indonesia], Pidato Presiden Republik Indonesia di depan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 7 Agustus 2000, From: http://istana.ri.go.id/speech/ind/07 agustus00. htm, 4 Januari 2001.